PENGANTAR
AQIDAH ISLAM
A.
PENGERTIAN
AQIDAH
Sesungguhnya aqidah merupakan masalah yang paling pokok dan paling mendasar
bagi setiap mukmin. Aqidah menjadi pintu awal masuknya seseorang ke dalam Islam
dan aqidah pula yang harus dia pertahankan hingga akhir hidupnya. Seorang
mukmin dituntut untuk membawa serta kalimah tauhid, kalimat ikhlas ‘laa
ilaaha illallah’ hingga menghembuskan napas yang terakhir agar dia
dikategorikan ke dalam hamba-hamba Allah Swt. yang husnul khatimah. Semua
mukmin meyakini bahwa barang siapa yang demikian adanya pasti meraih ridha
Allah Swt., rahmat-Nya dan surga-Nya. Oleh karena itu bahasan tentang aqidah
menjadi masalah paling urgen dan krusial bagi setiap mukmin.
Dalam
Kamus al-Munawir, secara etimologis, aqidah berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan.
‘Aqdan berati simpul, ikatan, perjanjian, dan kokoh. Setelah terbentuk
menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti aqdan dan
aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati,
bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara
terminologis terdapat beberapa definisi aqidah yang dikemukakan oleh para ulama
Islam, antara lain:
1.
Menurut Hasan
Al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-Rasail:
اَلْعَقَائِدُ هِيَ اْلاُمُوْرُ
الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ ِبهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ اَلَيْهَا نَفْسُكَ
وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ يُخَالِطُهُ شَكُّ.
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara
yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa,
menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
2.
Menurut Abu
bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-Mukmin:
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ
مِنْ قَضَايَا اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ وَالَّسمْعِ
وَاْلفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهَا
صَدْرَهُ جَازِمًا بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا لاَ يُرَي
خِلاَفُهَا أَنَّهُ يُصِحُّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum
(aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu
dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti
dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua definisi di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman mengenai aqidah yang lebih
proporsional, yaitu:
1.
Setiap manusia
memiliki fitrah mengakui kebenaran, indra untuk mencari kebenaran dan wahyu
untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing instrumen
tersebut pada posisi sebenarnya.
2.
Keyakinan yang
kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala pencampuradukan dengan
keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada
bercampur dengan syak dan kesamaran. Oleh karena itu untuk sampai kepada
keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu, yakni sikap menerima suatu kebenaran
dengan sepenuh hati setelah meyakini dalil-dalil kebenaran.
3.
Aqidah tidak
boleh tidak harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang
meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan adanya keselarasan dan
kesejahteraan antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan keyakinan yang
bersifat batiniyah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara
sikap lahiriyah dan batiniah.
4.
Apabila
seseorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup
membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang
diyakininya itu.
B.
BEBERAPA
ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH
Terdapat banyak istilah tentang aqidah yang
diperkenalkan oleh ulama. Berikut ini adalah sebagian istilah tersebut beserta
relevansinya sesuai dengan makna dan maksudnya.
1.
Iman
Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang
membedakanya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek hati)
dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya
berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan
amal. Sedangkan kalau kita mengikuti definisi iman menurut jahmiyah dan
Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan
dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada
dengan ini, adalah pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah i’tiqad,
sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak dinamai iman. Sebaliknya jika
kita mengikuti definisi iman menurut ulama salaf (imam Malik, Ahmad, Syafi’i)
yang mengatakan bahwa iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati,
diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh) maka iman dan
aqidah tentu tidak persis sama.
2. Tauhid
Tauhid artinya mengesakan (mengesakan Allah-Tauhidullah).
Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan iman, oleh sebab itu aqidah dan
iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.
3.
Ushuluddin
Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iman dan tauhid
disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan pokok-pokok ajaran agama
Islam.
4.
Ilmu kalam
Kalam artinya berbicara, atau pembicaraan. Dinamakan ilmu kalam karena
banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara pemikir
masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang al-Qur’an apakah
khaliq atau bukan, hadits atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia punya hak
ikhtiar atau tidak. Tentang orang berdosa besar, kafir atau tidak dan lain
sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi setelah cara
berfikir rasional dan falsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.
5.
Fikih Akbar
Fikih akbar artinya fikih besar. Istilah ini muncul berdasarkan
pemahaman bahwa tafaquh fiddin yang diperintahkan Allah swt dalam surat at-Taubah
ayat 122, bukan hanya masalah fikih, tentu dan lebih utama masalah aqidah.
Untuk membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar,
sehingga menjadi fikih akbar.
6.
Teologi Islam
Teologi berasal dari dua suku kata, yaitu teo (tuhan) dan logos
(ilmu). Jadi teologi adalah ilmu menegnai Tuhan. Dalam pengertian yang umum,
teologi diartikan dengan “pengetahuan yang berkaitan dengan seluk beluk tentang
Tuhan. Para ahli agama-agama mengartikan teologi dengan pengetahuan tentang
Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan Tuhan dengan alam
semesta. Sebagai ilmu yang membicarakan ketuhanan, maka kata ini digunakan oleh
semua agama. Sementara untuk teologi Islam mengkaji seluk beluk ketuhanan yang
terdapat dalam ajaran Islam. Dengan demikian kata teologi bersifat netral, bisa
digunakan kepada agama apa saja, sesuai dengan karakter dari agama yang menjadikan
ketuhanan sebagai kajian utamanya.
7.
Ilmu Ma’rifat
Disebut sebagai ilmu ma’rifah, karena ilmu ini dapat
mengenal atau memperkenalkan ajaran-ajaran aqidah Islam, sehingga dalam
pembahasanya meliputi: Pertama, ma’rifat al-mabda’ yaitu mengenal Allah
dengan segala sifat, af’al dan asma-Nya. Kedua, ma’rifat
al-wasithat yaitu mengenal utusan-utusan Allah meliputi malaikat, rasul dan
kitab-kitab Allah. Ketiga, ma’rifat al-ma’ad yaitu mengenal dan
mempercayai hari akhir dan segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan
iradah dengan takdir Allah swt.
C.
SUMBER
AQIDAH
Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Artinya apa
saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Rasulullah dalam
sunnah-nya wajib diimani, diyakini, dan diamalkan.
Akal fikiran sama sekali bukan sumber aqidah Islam, tetapi merupakan
instrumen yang berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua
sumber tersebut dan mencoba – kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiyah
kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari
oleh suatu kesadaran penuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan
terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masa’il
ghaibiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup
menjangkau sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Misalnya, akal
tidak mampu menunjukan jawaban atas pertanyaan kekekalan itu sampai kapan? Atau
akal tidak sanggup menunjukan tempat yang tidak ada di darat atau di laut, di
udara dan tidak dimana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang
dan waktu. Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib
tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal
hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa risalah
tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiyah oleh akal fikiran.
Berkenaan dengan penyelidikan akal untuk menyakini aqidah Islam,
terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di atas, manusia dipersilahkan
untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada alam semesta ini, di bumi,
di langit, dan rahasia-rahasia yang tersimpan pada keduanya. Manusia
diperintahkan untuk memperhatikan bagaimana langit ditegakkan tanpa tiang
seperti yang kita lihat, dan bumi dihamparkan dan dibangun dengan suasana yang
teratur dan teguh dalam sebuah sistem yang saling berjalin berkelindan.
Penyelidikan akal yang mendalam pasti akan mengatakan dan meyakinkan, bahwa
alam ini mustahil tercipta dengan sendirinya dan timbul karena
kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain, seperti keyakinan dalam
naturalisme.
Penyelidikan akal secara cermat dapat melahirkan pengakuan mutlak
bahwa semua alam semesta yang teratur, rapi, dan berjalan menurut hukum yang
tetap dan tak berubah-ubah mensyaratkan ada penciptanya, pengatur dan pemeliharanya.
Oleh karena itu, al-Qur’an berkali-kali menganjurkan dan memberikan petunjuk ke
arah penyelidikan dalam menetapkan aqidah dengan cara demikian. Lihat firman
Allah QS Al-baqarah:164.
D.
TINGKATAN
AQIDAH
Tingkatan aqidah seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainya tergantung dari dalil, pemahaman, penghayatan dan juga aktualisasinya.
Tingkatan aqidah ini paling tidak ada empat, yaitu: taqlid, ilmul
yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
1)
Tingkat Taqlid
Tingkat taqlid berarti menerima suatu kepercayaan dari orang
lain tanpa diketahui alasan-alasanya. Sikap taklid ini dilarang oleh agama
Islam sebagaimana disebutkan dalam QS al-Isra’ (17): 36.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
2)
Tingkat Ilmul
Yaqin
Tingkat ilmul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh
berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS
at-takatsur (102): 1-5.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ!حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ!كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam
kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu
mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”
3)
Tingkat ‘Ainul
Yaqin
Tingkat ‘ainul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh
melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara. Hal ini
disebutkan di dalam QS at-Takatsur (102): 6-7.
لَتَرَوُنَّ
الْجَحِيمَ!ثُمَّ
لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ!
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan
sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin”.
4)
Tingkat Haqqul
Yaqin
Tingkat haqqul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh
melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan (empiris). Sebagaimana disebutkan
di dalam QS al-Waqi’ah (56): 88-89.
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ
الْمُقَرَّبِينَ
*فَرَوْحٌ
وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ
*وَأَمَّا
إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ
*فَسَلَامٌ
لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ
*وَأَمَّا
إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ *فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ *وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ *إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ *فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ*
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan
(kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga
keni`matan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan
bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan
orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang
mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini)
adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Maha Besar”.
E.
URGENSI AQIDAH ISLAM
Sesuai dengan fungsinya sebagai dasar agama, maka keberadaan aqidah
Islam sangat menentukan bagi seorang muslim, sebab dalam sistem teologi agama
ini diyakini bahwa sikap, perbuatan dan perubahan yang terjadi dalam perilaku
dan aktivitas seseorang sangat dipengaruhi oleh sistem teologi atau aqidah yang
dianutnya. Untuk itu signifikansi akidah dalam kehidupan seseorang muslim dapat
dilihat paling tidak dalam empat hal, yaitu:
1.
Aqidah Islam
merupakan landasan seluruh ajaran Islam. Di atas keyakinan dasar inilah
dibangun ajaran Islam lainya, yaitu syari’ah (hukum Islam) dan akhlaq (moral
Islam). Oleh karena itu, pengamalan ajaran Islam lainya seperti shalat, puasa,
haji, etika Islam (akhlak) dan seterusnya, dapat diamalkan di atas bangunan
keyakinan dasar tersebut. Tanpa keyakinan dasar, pengamalan ajaran agama tidak
akan memiliki makna apa-apa.
2.
Akidah Islam
berfungsi membentuk kesalehan seseorang di dunia, sebagai modal awal mencapai
kebahagiaan di akhirat. Hal ini secara fungsional terwujud dengan adanya
keyakinan terhadap kehidupan kelak di hari kemudian dan setiap orang
mempertanggungjawabkan perbuatanya di dunia.
3.
Akidah Islam
berfungsi menyelamatkan seseorang dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang,
seperti bid’ah, khurafat, dan penyelewengan-penyelewengan lainya.
4.
Akidah Islam
berfungsi untuk menetapkan seseorang sebagai muslim atau non muslim.
Begitu pentingnya kajian akidah Islam hingga bidang ini telah
menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli sejak zaman awal Islam sampai
hari ini, termasuk di Indonesia. Di dalam apresiasinya, kajian mengenai bidang
ini melahirkan beberapa aliran, seperti Muktazilah, Asy’ariyah, Murjiah, Syiah,
Khawarij, Qadariyah, Jabbariyah dan lain-lain.
Sebagai hal yang sangat fundamental bagi seseorang, aqidah oleh
karenanya disebut sebagai titik tolak dan sekaligus merupakan tujuan hidup.
Atas dasar itu maka aqidah memiliki peran yang sangat penting di dalam
memunculkan semangat peningkatan kualitas hidup seseorang. Fungsi tersebut
antara lain:
1. Akidah Dapat Menimbulkan Optimisme Dalam Kehidupan.
Sebab manusia yang di dalam dirinya tertanam akidah atau keyakinan
yang kuat, akan selalu merasa optimis dan merasa akan berhasil dalam segala
usahanya. Keyakinan ini didorong oleh keyakinan yang lain bahwa Allah sangat
dekat padanya, bahkan selalu menyertainya dalam usaha dan
aktivitas-aktivitasnya. Sementara bagi orang yang tidak memiliki akidah yang benar
dan kuat tidak akan memilki keyakinan yang kuat, jiwanya akan menjadi gersang
dan hampa, dan selalu diliputi keraguan dalam bertindak. Sehingga jika tertimpa
sedikit cobaan dan rintangan, ia menjadi gelisah, keluh kesah, yang sering kali
berakhir dengan putus asa, karena ia tidak memiliki pegangan batin yang kuat di
luar kemampuanya.
2. Akidah Dapat Menumbuhkan Kedisiplinan.
Disiplin dimaksud, seperti disebut oleh Yusuf al-Qardhawiy, adalah
kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti semua ketentuan dan tata tertib yang
berlaku, termasuk hukum alam (sunnatullah) dengan kesadaran dan tanggung
jawab. Akidah yang mantap akan mampu menempatkan diri seseorang sebagai makhluk
berdisiplin tinggi dalam kehidupannya. Disiplin adalah kata kunci untuk
keberhasilan. Karena itu bila seseorang muslim ingin berhasil, ia harus berdisiplin.
Tanpa disiplin, tidak mungkin seseorang dapat meraih kesuksesannya. Dalam
konteks peningkatan kualitas hidup disiplin sangat dituntut terutama:
Pertama: Disiplin dalam waktu. Artinya,
tertib dan teratur dalam memanfaatkannya dalam penanganan kerja maupun dalam
melakukan ibadah mahdhah.
Kedua: Disiplin dalam bekerja. Artinya,
seorang muslim yang berakidah menyadari bahwa ia harus bekerja, sebagai
pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah. Dan agar kerjanya
berhasil baik, diperlukan sikap disiplin. Sebab penangan kerja dengan
kedisplinan akan menghasilkan sesuatu secara maksimal dan membahagiakan.
3. Aqidah Berpengaruh Dalam Peningkatan Etos Kerja.
Sebab seseorang yang memilki keyakinan yang mantap akan selalu
berupaya keras untuk keberhasilan kerjanya, sebagai bagian dari pemenuhan
kataatanya pada Allah. Dengan demikian melalui aqidahnya akan tersembul etos
kerja yang baik yang tercermin dari ciri-ciri berikut ini:
a.
Memiliki jiwa
kepeloporan dalam menegakan kebenaran
Kepeloporan di sini dimaksudkan sebagai mengambil peran secara
aktif untuk mempengaruhi orang lain agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Jadi, ia memilki kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran
(role) sehingga kehadiranya selalu dirasakan memberikan spirit bagi
munculnya semangat peningkatan kualitas hidup setiap orang di sekitarnya.
b.
Memiliki
perhitungan (kalkulatif)
Setiap langkah dalam hidupnya selalu diperhitungkan dari segala
aspek, termasuk untung dan resikonya, dan tentu saja sebuah perhitungan yang
rasional.
c.
Tidak merasa
puas dalam berbuat kebajikan
Tipe muslim yang memilki aqidah yang kaut akan tampak dari
semangatnya yang tak kenal lelah melakukan berbagai aktivitas untuk mencapai
dan menegakkan kebaikan. Sekali dia berniat, ia akan menepati cita-citanya
secara serius dan cermat, serta tidah mudah menyerah bila berhadapan dengan
cobaan dan rintangan. Dengan semangat semacam ini seorang muslim selalu
berusaha mengambil posisi dan memainkan peranan positif, dinamis, dan kreatif
dalam penanganan kerjanya, dan memberi contoh kepada orang yang ada di sekitarnya.
Sedemikian pentingnya peran dan kontribusi aqidah bagi peningkatan
kualitas hidup seorang muslim, hingga pemerhati masalah-masalah tauhid, Ismail
Razi al-Faruqi menyebut aqidah (tauhid) sebagai prinsip ekonomi Islam dalam
bentuk etika produksi, etika distribusi dan etika konsumsi.
F.
HAL-HAL YANG
MERUSAK AQIDAH
1.
Kufur
a.
Pengertian
Dari segi bahasa kufur berasal dari kata Arab: kufr, yang
berarti menutupi sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu kebaikan yang telah
diterima, dan atau tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterima. Orangnya
disebut kafir, bentuk jamaknya adalah kafirun atau kuffar.
Dalam perkataan sehari-hari, kata kafir agaknya lebih lazim dipakai dari
kata kufur, meskipun kata kafir sering disebut untuk menunjuk sesuatu
yang bermakna kufur.
Sedangkan dari segi istilah kufur sering diartikan sebagai
sikap atau perbuatan yang menolak, menentang, mendustkan dan mengingkari
kebenaran dari Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Dalam al-Qur’an kata kufur
mengacu kepada perbuatan yang ada hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, sikap
atau perbuatan yang termasuk dalam kategori kufur ini, antara lain dapat
diidentifikasi seperti:
1)
Mengingkari
nikmat dan beberapa karunia Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya. Ini
ditemukan dalam QS an-Nahl: 55 dan QS ar-Rum: 34.
2)
Lari dari
tanggung jawab atau berlepas diri dari suatu perbuatan. Ini ditemukan dalam QS
Ibrahim:22.
3)
Pembangkangan
atau penolakan terhadap hukum-hukum Tuhan. Ini ditemukan dalam QS al-Maidah:44.
4)
Meninggalkan
amal salih yang diperintahkan Tuhan. Ini ditemukan dalam QS ar-Rum: 44.
Lebih jauh, dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang semakna
dengan kata kufur, yaitu: Bagha yang berarti melampaui batas (QS
al-Syura:27); Batira yang berarti bermewah-mewah/bersenang-senang (QS
al-Qasas: 58); ‘Ata yang berarti melampaui batas (QS al-Furqan: 21,
at-Thalaq: 8, dan Al-A’raf: 166); Tagha yang berarti kesesatan (QS
al-Maidah: 64, 68, 69, dan 72, al-Kahfi: 80, al-Syams: 11-12, yunus: 7-8 dan
11, al-Nazi’at: 37-41 dan shad: 55-56), Istighna’ yang berarti merasa
serba cukup (QS al-‘Alaq: 6-7, dan al-Lail: 8-11); dan jabbar yang
berarti sewenang-wenang (QS al-Mu’min: 35, QS Maryam: 12-14 dan 31 – 32).
b.
Macam-macam Kufur
atau kafir
Berdasarkan keragaman makna kafir atau kufur
sebagaimana diuraikan di atas dan melihat secara tekstual dan kontekstual
ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkapakan masalah kekafiran, maka kufur
atau kafir dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
1)
Kafir harbi,
Yaitu kafir yang selalu memusuhi Islam. Apabila berada dalam
negara Islam mereka senantiasa ingin memecah belah orang-orang mukmin.
Sedangkan apabila berada di luar negara Islam mereka memusuhi orang-orang Islam
dan bekerja sama dengan orang-orang yang telah memerangi Allah swt, dan Rasul-Nya
sejak dulu, guna membuat kerusuhan di muka bumi. Ini dapat dilihat dalam QS
at-Taubah: 107.
2)
Kafir ‘inad,
Yaitu kafir yang mengenal Tuhan dengan hati dan mengakui-Nya dengan
lisan, tetapi tidak mau menjadikanya sebagai suatu keyakinan karena adanya rasa
permusuhan, dengki dan semacamnya. Ini dapat dilihat dalam QS Hud: 59, dan Qaf:
24.
3)
Kafir Ingkar,
Yaitu kafir yang mengingkari adanya Tuhan secara lahir
batin, mengingkari adanya rasul-rasul-Nya serta ajaran-ajaran yang dibawanya,
mengingkari adanya hari kemudian. Jenis kafir ini dapat dikategorikan
sebagai penganut ateisme (paham yang mengingkari keberadaan Tuhan). Mereka
hanya percaya pada hal-hal yang bersifat materialisme semata. Ini dapat dilihat
dalam QS al-Jasiyah: 24.
4)
Kafir Juhud,
Yaitu kafir yang membenarkan dengan hatinya adanya Tuhan dan
rasul-rasulnya serta ajaran-ajaran yang dibawanya, tetapi tidak mau
mengikrarkan kebenaran itu secara lahir. Ciri khas dari jenis kafir ini pada
dasarnya sama dengan kafir ingkar, terkecuali pada kafir juhud,
kesombongan, keangkuhan, dan rasa superioritas merupakan ciri khas yang sangat
dominan. Ini dapat dilihat dalam QS al-Naml: 14.
5)
Kafir kitabi,
Yaitu kafir yang mengimani beberapa kepercayaan pokok yang dianut Islam,
akan tetapi kepercayaan mereka tidak utuh, penuh cacat, dan parsial. Mereka
membuat diskriminasi terhadap rasul-rasul Allah, kitab-kitab suci-nya, terutama
terhadap nabi Muhammad dan al-Qur’an. Mereka dalam al-Qur’an sering disebut
sebagai kelompok ahlul kitab (orang yang diberi kitab). Dan orang Yahudi
dan Nasrani termasuk dalam kelompok tersebut.
6)
Kafir nifaq,
Yaitu kafir yang secara lahiriyah nampak beriman tetapi batinya
mengingkari Tuhan. Mereka itulah yang disebut orang munafik, yaitu: orang kafir
yang memakai baju mukmin. Watak dasar mereka adalah khianat, ingkar janji,
dusta, egois, dan ria. Ini dapat dilihat dalam QS al-Maidah: 41.
7)
Kafir ni’mah,
Yaitu kafir yang perbuatannya cenderung menyalahgunakan
nikmat-nikmat Tuhan, tidak mendayagunakan nikmat tuhan pada hal-hal yang
diridhai-Nya, dan tidak berterima kasih atas nikmat yang diperoleh dalam hidup
ini. Ini dapat dilihat dalam QS Ibrahim: 7.
8)
Kafir Syirk,
Yaitu jenis kafir yang menodai sifat yang paling esensial bagi
Tuhan, yakni keesaan, yang berarti merusak kemahasempurnaan-Nya. Meskipun
mereka tidak mengingkari eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam ini, tetapi
mereka mempercayai keberadaan banyak tuhan sebagai tempat mengantungkan nasib
mereka. Ini dapat dilihat dalam QS al-Nisa’: 48.
9)
Kafir riddah,
Yaitu kekafiran yang disebabkan seseorang keluar dari Islam.
Seorang muslim dinyatakan murtad apabila ia memberi pengakuan secara sadar dan
bebas (tanpa tekanan dan paksaan) bahwa ia keluar dari Islam atau meyakini
suatu keyakinan (agama) yang bertentangan dengan ajaran dasar aqidah dan
syariat Islam. Ini dapat dilihat dalam QS al-Baqarah: 217.
2.
Syirik
a. Pengertian
Kata syirik berasal dari kata Arab syirk yang berarti sekutu
atau persekutuan. Dalam istilah ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti
mempersekutukan tuhan lain dengan Allah, baik persekutuan itu mengenai zat-Nya,
sifat-Nya atau af’al-Nya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya
ditujukan hanya kepada-Nya saja. Ini dapat dilihat dalam QS az-Zumar: 38,
Al-Ankabut: 63, dan al-Zukhruf: 87.
Percaya kepada Allah tidaklah dengan sendirinya berarti iman atau
tauhid. Sebab iman kepada Allah itu tidaklah cukup dalam arti hanya percaya
kepada-Nya saja, melainkan mencakup pengertian yang benar tentang siapa Allah
yang kita percayai itu dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada
obyek-obyek selain Dia. Oleh karena itu orang-orang Arab sebelum Islam, kendati
mereka sudah percaya kepada Allah, bahwa yang menciptakan alam raya, yang
menurunkan hujan dan bahkan yang menciptakan manusia seluruh jagat tersebut
adalah Allah swt, mereka tidak bisa disebut sebagai orang yang beriman, karena
kepercayaan mereka kepada Allah masih mengandung kemungkinan percaya kepada
yang lain selain Allah dalam keilahian-Nya. Oleh sebab itulah mereka disebut
sebagai kaum musyrik sebagai anti tesis dari kaum yang bertauhid.
b. Bentuk-bentuk syirik
Dalam al-Quran, ada tiga puluh enam bentuk kata yang berasal dari
akar kata syirik. Dari sejumlah itu, Maulana Muhammad Ali meyimpulkan paling
tidak ada empat bentuk syirik, yaitu:
1)
Menyembah
sesuatu selain Allah, misalnya batu, patung, pohon, bintang, kuburan,
benda-benda langit, kekuatan-kekuatan alam, manusia yang dianggap setengah dewa
atau penjelmaan Tuhan, anak laki-laki atau anak perempuan Tuhan. Ini dapat
dilihat dalam QS az-Zumar: 3.
2)
Menyekutukan
sesuatu dengan Allah, artinya menganggap barang-barang itu mempunyai
sifat-sifat yang sama seperti Tuhan. Misalnya: kepercayaan ada tiga oknum
ketuhanan, keyakinan bahwa sang putra dan sang roh kudus itu kekal, maha tahu,
maha kuasa seperti Allah, dan lain sebagainya. Ini dapat dilihat dalam QS
an-Nisa’: 171.
3)
Sebagain
manusia mengambil sebagian yang lain sebagai Tuhan. Ini dapat dilihat dalam QS
at-Taubah: 31.
4)
Orang mengikuti
hawa nafsu secara membabi buta. Orang yang mengikuti hawa nafsunya secara
berlebihan termasuk perbuatan syirik, karena ketaatannya kepada hawa nafsunya
melebihi ketaatanya kepada Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-Furqon: 43.
3.
Riddah
a. Pengertian
Kata riddah, makna asalnya kembali (ke tempat atau jalan
semula). Sedangkan kata murtad adalah untuk menyebut pelakunya. Pengertian ini
mencakup keluar dari iman dan kembali kepada kekafiran. Secara istilah murtad
didefinisikan sebagai seseorang yang secara sadar (tanpa paksaan) keluar dari
agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkanya
menjadi kafir, pindah kepada agama lain atau tidak beragama sama sekali.
Dalam hubungan ini, bila seseorang yang mulutnya menyatakan keluar
dari agama Islam karena dipaksa oleh orang lain – seperti diancam hendak
dibunuh – sementara hatinya tetap beriman, maka ia tidak termasuk golongan yang
murtad. Ini dapat dilihat dalam QS an-Nahl: 106.
b. Konsekuensi riddah
Dalam persepktif al-qur’an, Islam tidak memaksa seseorang untuk
menjadi pemeluknya (QS al-Baqarah: 256), namun ketika seseorang menyatakan
memeluk Islam, ia terikat dan tidak boleh keluar darinya. Oleh karena itu, manakala
seseorang keluar dari Islam ada beberapa konsekuensi yang diterimanya, yaitu:
1)
Seluruh amal
salih yang pernah dilakukakanya sebelum murtad terhapus, bahkan diancam oleh
Allah SWT dengan siksa yang amat berat. Ini terdapat dalam QS al-Baqarah: 217.
2)
Perkawinanya
yang dilakukan sebelum murtad menjadi fasakh (batal demi hukum) tanpa
melalui proses perceraian atau thalaq.
3)
Tidak bisa
mendapatkan hak waris dari kerabatnya yang muslim, meskipun menurut sebagain
ulama, orang muslim masih boleh (berhak) menerima warisan dari kerabatnya yang
murtad.
4.
Bid’ah
a. Pengertian
Arti bid’ah menurut bahasa ialah segala macam apa saja yang baru,
atau mengadakan sesuatu yang tidak berdasarkan contoh yang sudah ada. Sedangkan
arti bid’ah secara istilah adalah mengada-adakan sesuatu dalam agama Islam yang
tidak dijumpai keteranganya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
b. Macam-macam bid’ah
Bila dilihat dari segi ushul fikih (kaidah-kaidah hukum Islam)
bid’ah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1)
Bid’ah dalam
ibadah saja, yaitu segala sesuatu yang diada-adakan dalam soal ibadah kepada
Allah swt yang tidak ada contohnya sama sekali dari rasulullah baik dengan cara
mengurangi atau menambah-nambah aturan yang sudah ada.
2)
Bid’ah meliputi
segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, baik yang berkaitan dengan
urusan ibadah, aqidah maupun adat. Perbuatan yang diada-adakan itu seakan-akan
urusan agama, yang dipandang menyamai syari’at Islam, sehingga mengerjakanya
sama dengan mengerjakan agama itu sendiri.
Semua bentuk bid’ah di atas sangat tercela dan tidak boleh
dilakukan. Aisyah ra menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah berabda: “Barang
siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama, maka ia ditolak, tidak
diterima, dan bid’ah namanya” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan
lain Rasulullah saw berkhutbah di atas mimbar dan bersabda: “Amma ba’du,
sesungguhnya sebenar-benar keterangan ialah kitab allah dan sebaik-baik pedoman
ialah pedoman Muhammad dan sejelek-jelek urusan adalah hal-hal yang baru,
itulah yang disebut bid’ah dan segala bid’ah itu sesat’. Oleh Imam Nasa’i
ditambah “dan segala yang sesat itu di neraka”. (HR Muslim riwayat dari
jabir bin Abdullah).
5.
Khurafat
a. Pengertian
Kata khurafat berasal dari bahasa arab: al-khurafat yang
berarti dongeng, legenda, kisah, cerita bohong, asumsi, dugaan, kepercayaan dan
keyakinan yang tidak masuk akal, atau akidah yang tidak benar. Mengingat
dongeng, cerita, kisah dan hal-hal yang tidak masuk akal di atas umumnya
menarik dan mempesona, maka khurafat juga disebut “al-hadis al-mustamlah min
al-kidb”, cerita bohong yang menarik dan mempesona.
Sedangkan secara istilah, khurafat adalah suatu kepercayaan,
keyakinan, pandangan dan ajaran yang sesungguhnya tidak memiliki dasar dari
agama tetapi diyakini bahwa hal tersebut berasal dan memiliki dasar dari agama.
Dengan demikian, bagi umat Islam, ajaran atau pandangan, kepercayaan dan
keyakinan apa saja yang dipastikan ketidakbenaranya atau yang jelas-jelas
bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Hadis nabi, dimasukan dalam kategori
khurafat.
b. Asal usul
Menurut Ibn Kalabi, awal cerita khurafat ini berasal dari Bani
‘Udrah atau yang lebih popular dikenal dengna Bani Juhainah. Suatu ketika ada
salah seorang dari Bani Juhainah ini pulang ke kampung halamannya.
Kedatangannya mengundang banyak anggota bani Juhainah untuk datang sekedar
melihatnya karena sudah lama tak pulang kampung. Ketika banyak orang berkerumun
untuk mengunjunginya, ia banyak bercerita tentang banyak hal yang ada kaitanya
dengan wilayah keagamaan, seperti yang pernah ia lihat dan ia rasakan selema
kepergianya. Cerita-cerita yang dikemukakan, memang sulit diterima oleh akal,
namun cerita yang disampaikan sungguh amat mempesona para hadirin yang
mendengarnya.
Meskipun cerita itu tidak bisa diterima oleh akal, namun tidak
sedikit di antara hadirin yang mendengarkan secara seksama, meskipun secara
diam-diam mereka mencoba merenungkan kebenarannya. Setibanya di rumah
masing-masing, mereka mendiskusikan cerita tersebut dengan sanak keluarga dan
tetangga terdekat. Akhirnya cerita-ceruita itu berkembang dan tersebar di
seluruh masyarakat bani Juhainah. Dalam perkembangannya kemudian, cerita-cerita
yang tak masuk akal dan tidak didasarkan pada sumber al-Qur’an mapun Sunnah
itu, oleh masyarakat dianggap sebagai sebuah cerita bernilai religius dan
mempunyai dasar dari agama.
Khurafat ini berkembang dengan pesat seirama dengan pembudayaan apa
yang disebut dengan taklidisme (ajaran yang bersikap ikut-ikutan).
Dengan bersikap taklid, tanpa mengembangkan sikap kritis dalam menerima
kebenaran cerita, pendapat, fatwa dan sejenisnya yang berkaitan dengan wilayah
keagamaan, akan menimbulkan bentuk-bentuk perbuatan yang menyimpang dari ajaran
Islam. sikap kritis yang dibutuhkan adalah melihat sejauhmana cerita, pendapat,
fatwa, dan sejenisnya itu disimpulkan dari sumber Islam yang otentik. Jika
sikap ini tidak dikembangkan, maka munculnya penyimpangan dari ajaran Islam
tampaknya tidak terhindarkan lagi.
Khurafat, seperti disebutkan di atas, banyak ditemukan dalam
masyarakat kita dalam semua bidang kehidupan manusia. Khurafat tidak hanya
menyangkut sesuatu (benda) yang dianggap mempunyai legitimasi Islam, tetapi
juga menyangkut diri manusia sendiri, yang kesemuanya diyakini mempunyai dan
memiliki kekuatan magis padahal yang mempunyai kekuatan seperti itu hanya Allah
semata. Contoh khurafat yang popular di Indonesia, misalnya tentang kewalian
dan kekeramatan seseorang. Cerita yang dikategorikan khurafat yang samapi saat
ini masih berkembang di masyarakat, misalnya tentang Syaikh Abdul Qadir
Jailani, adalah kepiawaiannya berduel dengan malaikat. Dalam duel itu, Abdul
Qadir Jailani dikisahkan mampu memenangkan duel. Kisah duel antara Abdul Qadir
jailan dan malaikat ini bermula dari pencabutan nyawa seseorang. Kematian ini
memunculkan rasa iba dalam diri Abdul Qadur Jailani terhadap yang
ditinggalkanya. Rasa iba ini menggerekan hatinya untuk mencoba berdialog dengan
malaikat yang mencabut nyawa tadi, agar seorang yang dicabut nyawanya tersebut
dapat dianulir mengingat keluarganya amat terpukul dengan kematianya. Upaya
dialog Abdul Qadir Jailani sebagai jalan terakhir untuk mengembalikan orang
yang mati tadi tidak membuahkan hasil. Akhirnya terjadilah duel, dan dalam duel
tersebut dimenangkan oleh Abdul Qadir Jailani. Kekalahan malaikat ini
mengharuskannya untuk mengembalikan nyawa kepada yang telah dicabut nyawanya
tadi. Akhirnya hiduplah kembali orang tersebut, dan kembalinya orang ini sangat
membahagiakan keluarganya.
c. Bentuk-bentuk Khurafat
Djarnawi hadikusuma, dalam salah satu bukunya “Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, Bid’ah dan Khurafat”, menjelaskan beberapa perilaku yang bisa
dikategorikan sebagai perbuatan khurafat, yaitu:
1)
Mempercayai
bahwa berjabat tangan dengan orang yang pernah berjabat tangan dengan orang
yang secara berantai sampai kepada orang yang pernah berjabat tangan dengan Rasulullah
akan masuk surga.
2)
Mendapatkan
barakah dengan mencucup tangan para ulama. Demikian itu dikerjakan dengan
kepercayaan bahwa berkah Allah kepada ulama itu akan berlimpah kepadanya.
3)
Mempercayai
beberapa ulama tertentu itu keramat serta menjadi kekasih Allah sehingga
terjaga dari berbuat dosa. Andakata pun berbuat dosa, maka sekedar sengaja
diperbuatnya untuk menyembunyikan kesucianya tidak dengan niat maksiat.
4)
Memakai
ayat-ayat al-Qur’an untuk azimat menolak bala’, pengasihan dan sebagainya.
5)
Mengambil wasilah
(perantara) orang yang telah mati untuk mendo’a kepada Allah. Mereka berziarah
ke kuburan para wali dan ulama besar serta memohon kepada Allah agar do’a
(permohonan) orang yang berziarah kuburnya itu dikabulkan. Ada yang memohon dapat
jodoh, anak, rizki, pangkat, keselamatan dunia akhirat dan sebagainya. Mereka
percaya dengan syafa’at (pertolongan) arwah para wali dan ulama itu,
permohonan atau doa mesti dikabulkan Allah karena wali dan ulama itu
kekasih-nya.
6.
Tahayul
Kata tahayul berasal dari bahasa Arab, al-tahayul yang
bermakna reka-rekaan, persangkaan, dan khayalan. Sementara secara istilah,
tahayul adalah kepercayaan terhadap perkara ghaib, yang kepercayaan itu hanya
didasarkan pada kecerdikan akal, bukan didasarkan pada sumber Islam, baik
al-Qur’an maupun al-hadis.
Bila ditengok ke masa lampau, di berbagai negara, khusus timur
tengah, kepercayaan model tahayul ini pernah berkembang pesat. Pada zaman Persi
misalnya, sudah ada agama zoroaster. Menurut agama ini, ada Tuhan baik dan
Tuhan buruk (jahat). Api dilambangkan sebagai Tuhan yang baik. Sedang angin
topan dilambangkan sebagai Tuhan yang jahat. Kepercayaan ini berkembang dengan
keharusan untuk menghormatinya, yang kemudian diwujudkan dengan sajian atau
dengan penyembahan melalui cara tertentu terhadap sesuatu yang menjadi pujaanya
yang dirasa mempunyai kekuatan tertentu.
Di Indonesia, tahayul berkembang dan menyebar dengan mudah, tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh agama dan kepercayaan lama. Adanya beberapa
bencana alam menimbulkan korban menjadikan manusia berfikir untuk selalu baik
dan menyantuni alam yang direalisasikan dalam suatu bentuk pemujaan dengan
harapan bahwa sang alam tidak akan marah dan mengamuk lagi. Kepercayaan
animisme dan dinamisme merupakan suatu aliran kepercayaan yang ditimbulkan dari
keadaan di atas, seperti kepercayaan pada pohon besar, atau keris yang dianggap
mempunyai kekuatan tertentu atau benda-benda lainya. Kepercayaan kepercayaan
itu terus berlanjut dan berkembang bersama perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu
yang menggunakan mistik (kebatinan) sebagai salah satu aliranya.
7.
Nifaq
Nifaq secara bahasa berasal dari kata
Arab na-fi-qa-u, yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu
(hewan sejenis tikus) dari sarangnya. Nifaq juga dikatakan berasal dari
kata na-fa-qa, yaitu lubang tempat bersembunyi. Sementara menurut
syara’, nifaq berarti menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi
menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
Nifaq dibedakan dalam dua jenis yaitu nifaq
i’tiqadiy dan nifaq ‘amaliy. Pertama: Nifaq
I’tiqadiy (keyakinan) atau nifaq besar, di mana pelakunya menampakan
keislaman, akan tetapi menyembunyikan kekufuran. Orang yang termasuk nifaq ini
berarti ia keluar dari agama dan dia berada di dalam kerak neraka. Dalam
al-Qur’an, Allah menyifati pelaku-pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan,
seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok, dan mencaci agama beserta
pemeluknya, serta kecenderungan kepada musuh-musuh agama untuk bergabung dengan
mereka dalam memusuhi Islam. Pelaku nifaq (munafiq) jenis ini ada di sepanjang
jaman. Mereka melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara
sembunyi-sembunyi; mereka hidup di tengah umat muslim. Sebab itu, seorang
munafiq menampakan keimanannya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan hari akhir, akan tetapi dalam batinya terlepas dari semua
itu dan lebih dari itu mereka mendustakannya. Nifak jenis ini ada empat macam:
1) mendustakan Rasulullah atau mendustakan sebagaian dari apa yang beliau bawa,
2) membenci Rasulullah atau membenci sebagian dari apa yang beliau bawa, 3)
merasa gembira dengan kemunduran agama Islam, dan 4) tidak senang dengan
kemenangan Islam.
Kedua, Nifaq ‘Amaly (perbuatan), yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan
orang-orang munafik, akan tetapi masih ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini
tidak membawa pelakunya keluar dari agama, akan tetapi bisa menjadi wasilah
(perantara) bagi pelakunya keluar dari agama jika dia melakukan perbuatan nifaq
secara terus menerus.
G.
Tauhid
1.
Pengertian
Tauhid
Istilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal.
Dilihat dari arti bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan
kalau dilihat dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan
Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (af’al).
Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid
i’tiqadi ‘ilmi (keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid i’tiqadi
amali suluki (keyakinan yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud
atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis berupa ma’rifat (pengetahuan),
i’tiqadi (keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud
tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), al-qashdu
(tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan seseorang
tidak dapat diterima di sisi Allah selama tidak mentauhidkan Allah secara
teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan;
19).
Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian
mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah
dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim. Oleh
karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan
dan pengakuan tanpa diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah,
pengakuan seperti itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada
buktinya, atau sering disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish).
Iman atau pengakuan yang sempurna (tammah) kalau di dalamnya terdapat
tiga unsur yang bulat dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi
al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya (iqrarrun bi al-lisani),
serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani).
2.
Unsur Tauhid
Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid
secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat
unsur mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah,
tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma’ was-shifat).
a. Tauhid Rububiyah
Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang
majemuk. Menurut Abul A’la al-Maududi ia dapat berarti antara lain mendidik,
membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki,
memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40).
Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu
keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua
makhluk dan penguasa seluruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut
dapat disimpulkan bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertian
sebagaimana di bawah ini:
1)
Pencipta alam
semesta beserta dengan segala isinya.
2)
Pembimbing yang
menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal
pendidikan dan pertumbuhan.
3)
Pengasuh,
penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan.
4)
Pemimpin yang
dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubahnya sebagi pusat tempat mereka
berhimpun di sekelilingnya.
5)
Pemuka yang
ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan
kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih dan
menentukan kebijaksanaan.
6)
Raja yang
dipertuan
Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas,
maka yang dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan
keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam
semesta dengan seluruh isinya (rabbul ‘alamain). Allah adalah
satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia
(rabbun nas), Allah satu-satunya Zat yang mencipta semua makhluk yang
ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta
dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu
yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kemauan (iradah)
dan kekuasan (qudrat)-Nya semata-mata.
b. Tauhid Mulkiyah
Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki,
berakar dari akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang
mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah
raja dari sesuatu yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas
mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan
penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada
orang lain, apalagi menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt
sebagai rabb yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas
melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam
hal ini Allah swt adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk
(yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang
menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh
isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya.
Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari
tauihid rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta
ini merupakan ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan
kekuasaan-Nya, dan sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain,
maka sudah barang tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah
mutlah milik-Nya. Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah
satu-satunya raja yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh
isinya), maka kita harus mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali),
penguasa yang menentukan (hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).
1)
Tidak ada
Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah)
Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah
raja. Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya
wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia,
maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja simbol atau raja
boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (seremonial) belaka yang
sangat tidak menentukan sistem kehidupan atau sistem pemerintahan. Seorang raja
baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di
kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau
karena sudah tinggal di istana. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila
berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya
didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi
perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa
Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS al-Baqarah
(2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59.
2)
Tidak ada
Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah)
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru
fungsional sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan
hukum, yang berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman
kepada Allah sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang
menentukan hukum dan segala aturan lainya.
Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-qur’an bahwa
hak yang menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat
dalam QS al-An’am (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, dzalimun,
dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum
Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-Maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang
tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini
hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau
tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut
fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut dzalim
manakala merugikan orang lain.
3)
Tidak ada Yang
Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah)
Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang
menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan
kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah.
Allah-lah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus)
kita (QS al-An’am (6): 162).
c. Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-ma’luh
yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad
Shalih, Prinsip-prinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan
penuh kecintaan hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya
tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal
kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta
kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987:
26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri mendefinisikan tauhid uluhiyah dengan
singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan
ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22).
d. Tauhid Sifatiyah (al-Asma’ wa al-Sifat)
Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan
yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk
Allah dalam al-Qur’an dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.
Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid
sifatiyah, yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu
(mengingkari):
1)
Metode itsbat
maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma’ was-sifat
(nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya:
Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan
lain-lain.
2)
Metode nafyu
maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang
menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang
menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt
dan lain-lain.
Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti
sunnah Rasulullah, para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama
dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan
oleh Rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif
(perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan
takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).
Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan secara lebih khusus, yaitu:
1)
Janganlah
memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam
al-Qur’an dan Sunnah. Lihat QS al-A’raf (7): 180.
2)
Janganlah
menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt,
sifat-sifat dan af’al (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS
as-Syura (42): 11, al-Ikhlash (112): 1-4.
3)
Mengimani al-Asma’
was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan
“bagaimana”nya (kaifiyat).
4)
Dalam satu
hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim).
Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut.
5)
Di samping
istilah al-Asma’ al-husna ada lagi istilah “ismullah al-a’zam”
yaitu nama-nama Allah swt yang dirangkai dalam do’a. Rasulullah saw mengatakan
bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-a’zam, do’anya akan
dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan
Ibn majah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar