Jumat, 15 Juni 2012

Aqidah Islam


 PENGANTAR AQIDAH  ISLAM

A.    PENGERTIAN AQIDAH
Sesungguhnya aqidah merupakan masalah yang paling pokok dan paling mendasar bagi setiap mukmin. Aqidah menjadi pintu awal masuknya seseorang ke dalam Islam dan aqidah pula yang harus dia pertahankan hingga akhir hidupnya. Seorang mukmin dituntut untuk membawa serta kalimah tauhid, kalimat ikhlas ‘laa ilaaha illallah’ hingga menghembuskan napas yang terakhir agar dia dikategorikan ke dalam hamba-hamba Allah Swt. yang husnul khatimah. Semua mukmin meyakini bahwa barang siapa yang demikian adanya pasti meraih ridha Allah Swt., rahmat-Nya dan surga-Nya. Oleh karena itu bahasan tentang aqidah menjadi masalah paling urgen dan krusial bagi setiap mukmin.
Dalam Kamus al-Munawir, secara etimologis, aqidah berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan. ‘Aqdan berati simpul, ikatan, perjanjian, dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah yang dikemukakan oleh para ulama Islam, antara lain:
1.      Menurut Hasan Al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-Rasail:
اَلْعَقَائِدُ هِيَ اْلاُمُوْرُ الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ ِبهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ اَلَيْهَا نَفْسُكَ وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ يُخَالِطُهُ شَكُّ.
Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
2.      Menurut Abu bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-Mukmin:
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ مِنْ قَضَايَا اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ وَالَّسمْعِ وَاْلفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهَا صَدْرَهُ جَازِمًا بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا لاَ يُرَي خِلاَفُهَا أَنَّهُ يُصِحُّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua definisi di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman mengenai aqidah yang lebih proporsional, yaitu:
1.      Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indra untuk mencari kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing instrumen tersebut pada posisi sebenarnya.
2.      Keyakinan yang kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala pencampuradukan dengan keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada bercampur dengan syak dan kesamaran. Oleh karena itu untuk sampai kepada keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu, yakni sikap menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati setelah meyakini dalil-dalil kebenaran.
3.      Aqidah tidak boleh tidak harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan adanya keselarasan dan kesejahteraan antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan keyakinan yang bersifat batiniyah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriyah dan batiniah.
4.      Apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.

B.     BEBERAPA ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH
Terdapat banyak istilah tentang aqidah yang diperkenalkan oleh ulama. Berikut ini adalah sebagian istilah tersebut beserta relevansinya sesuai dengan makna dan maksudnya.
1. Iman
Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang membedakanya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sedangkan kalau kita mengikuti definisi iman menurut jahmiyah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini, adalah pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah i’tiqad, sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak dinamai iman. Sebaliknya jika kita mengikuti definisi iman menurut ulama salaf (imam Malik, Ahmad, Syafi’i) yang mengatakan bahwa iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh) maka iman dan aqidah tentu tidak persis sama.
2. Tauhid
Tauhid artinya mengesakan (mengesakan Allah-Tauhidullah). Ajaran tauhid adalah tema sentral aqidah dan iman, oleh sebab itu aqidah dan iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.
3.      Ushuluddin
Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.
4.      Ilmu kalam
Kalam artinya berbicara, atau pembicaraan. Dinamakan ilmu kalam karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang al-Qur’an apakah khaliq atau bukan, hadits atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang berdosa besar, kafir atau tidak dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi setelah cara berfikir rasional dan falsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.
5.      Fikih Akbar
Fikih akbar artinya fikih besar. Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaquh fiddin yang diperintahkan Allah swt dalam surat at-Taubah ayat 122, bukan hanya masalah fikih, tentu dan lebih utama masalah aqidah. Untuk membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga menjadi fikih akbar.
6.      Teologi Islam
Teologi berasal dari dua suku kata, yaitu teo (tuhan) dan logos (ilmu). Jadi teologi adalah ilmu menegnai Tuhan. Dalam pengertian yang umum, teologi diartikan dengan “pengetahuan yang berkaitan dengan seluk beluk tentang Tuhan. Para ahli agama-agama mengartikan teologi dengan pengetahuan tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan Tuhan dengan alam semesta. Sebagai ilmu yang membicarakan ketuhanan, maka kata ini digunakan oleh semua agama. Sementara untuk teologi Islam mengkaji seluk beluk ketuhanan yang terdapat dalam ajaran Islam. Dengan demikian kata teologi bersifat netral, bisa digunakan kepada agama apa saja, sesuai dengan karakter dari agama yang menjadikan ketuhanan sebagai kajian utamanya.
7.      Ilmu Ma’rifat
Disebut sebagai ilmu ma’rifah, karena ilmu ini dapat mengenal atau memperkenalkan ajaran-ajaran aqidah Islam, sehingga dalam pembahasanya meliputi: Pertama, ma’rifat al-mabda’ yaitu mengenal Allah dengan segala sifat, af’al dan asma-Nya. Kedua, ma’rifat al-wasithat yaitu mengenal utusan-utusan Allah meliputi malaikat, rasul dan kitab-kitab Allah. Ketiga, ma’rifat al-ma’ad yaitu mengenal dan mempercayai hari akhir dan segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan iradah dengan takdir Allah swt.
C.    SUMBER AQIDAH
Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Rasulullah dalam sunnah-nya wajib diimani, diyakini, dan diamalkan.
Akal fikiran sama sekali bukan sumber aqidah Islam, tetapi merupakan instrumen yang berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba – kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiyah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran penuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masa’il ghaibiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak akan sanggup menjangkau sesuatu yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Misalnya, akal tidak mampu menunjukan jawaban atas pertanyaan kekekalan itu sampai kapan? Atau akal tidak sanggup menunjukan tempat yang tidak ada di darat atau di laut, di udara dan tidak dimana-mana. Karena kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang dan waktu. Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa risalah tentang hal-hal ghaib itu bisa dibuktikan secara ilmiyah oleh akal fikiran.
Berkenaan dengan penyelidikan akal untuk menyakini aqidah Islam, terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di atas, manusia dipersilahkan untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada alam semesta ini, di bumi, di langit, dan rahasia-rahasia yang tersimpan pada keduanya. Manusia diperintahkan untuk memperhatikan bagaimana langit ditegakkan tanpa tiang seperti yang kita lihat, dan bumi dihamparkan dan dibangun dengan suasana yang teratur dan teguh dalam sebuah sistem yang saling berjalin berkelindan. Penyelidikan akal yang mendalam pasti akan mengatakan dan meyakinkan, bahwa alam ini mustahil tercipta dengan sendirinya dan timbul karena kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain, seperti keyakinan dalam naturalisme.
Penyelidikan akal secara cermat dapat melahirkan pengakuan mutlak bahwa semua alam semesta yang teratur, rapi, dan berjalan menurut hukum yang tetap dan tak berubah-ubah mensyaratkan ada penciptanya, pengatur dan pemeliharanya. Oleh karena itu, al-Qur’an berkali-kali menganjurkan dan memberikan petunjuk ke arah penyelidikan dalam menetapkan aqidah dengan cara demikian. Lihat firman Allah QS Al-baqarah:164.

D.    TINGKATAN AQIDAH
Tingkatan aqidah seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya tergantung dari dalil, pemahaman, penghayatan dan juga aktualisasinya. Tingkatan aqidah ini paling tidak ada empat, yaitu: taqlid, ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
1)      Tingkat Taqlid
Tingkat taqlid berarti menerima suatu kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasanya. Sikap taklid ini dilarang oleh agama Islam sebagaimana disebutkan dalam QS al-Isra’ (17): 36.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
2)      Tingkat Ilmul Yaqin
Tingkat ilmul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS at-takatsur (102): 1-5.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ!حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ!كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”
3)      Tingkat ‘Ainul Yaqin
Tingkat ‘ainul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara. Hal ini disebutkan di dalam QS at-Takatsur (102): 6-7.
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ!ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ!
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin”.
4)      Tingkat Haqqul Yaqin
Tingkat haqqul yaqin adalah suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan (empiris). Sebagaimana disebutkan di dalam QS al-Waqi’ah (56): 88-89.
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ *فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ *وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ *فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ *وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ *فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ *وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ *إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ *فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ*
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga keni`matan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.

E.     URGENSI AQIDAH ISLAM
Sesuai dengan fungsinya sebagai dasar agama, maka keberadaan aqidah Islam sangat menentukan bagi seorang muslim, sebab dalam sistem teologi agama ini diyakini bahwa sikap, perbuatan dan perubahan yang terjadi dalam perilaku dan aktivitas seseorang sangat dipengaruhi oleh sistem teologi atau aqidah yang dianutnya. Untuk itu signifikansi akidah dalam kehidupan seseorang muslim dapat dilihat paling tidak dalam empat hal, yaitu:
1.      Aqidah Islam merupakan landasan seluruh ajaran Islam. Di atas keyakinan dasar inilah dibangun ajaran Islam lainya, yaitu syari’ah (hukum Islam) dan akhlaq (moral Islam). Oleh karena itu, pengamalan ajaran Islam lainya seperti shalat, puasa, haji, etika Islam (akhlak) dan seterusnya, dapat diamalkan di atas bangunan keyakinan dasar tersebut. Tanpa keyakinan dasar, pengamalan ajaran agama tidak akan memiliki makna apa-apa.
2.      Akidah Islam berfungsi membentuk kesalehan seseorang di dunia, sebagai modal awal mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal ini secara fungsional terwujud dengan adanya keyakinan terhadap kehidupan kelak di hari kemudian dan setiap orang mempertanggungjawabkan perbuatanya di dunia.
3.      Akidah Islam berfungsi menyelamatkan seseorang dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang, seperti bid’ah, khurafat, dan penyelewengan-penyelewengan lainya.
4.      Akidah Islam berfungsi untuk menetapkan seseorang sebagai muslim atau non muslim.
Begitu pentingnya kajian akidah Islam hingga bidang ini telah menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli sejak zaman awal Islam sampai hari ini, termasuk di Indonesia. Di dalam apresiasinya, kajian mengenai bidang ini melahirkan beberapa aliran, seperti Muktazilah, Asy’ariyah, Murjiah, Syiah, Khawarij, Qadariyah, Jabbariyah dan lain-lain.
Sebagai hal yang sangat fundamental bagi seseorang, aqidah oleh karenanya disebut sebagai titik tolak dan sekaligus merupakan tujuan hidup. Atas dasar itu maka aqidah memiliki peran yang sangat penting di dalam memunculkan semangat peningkatan kualitas hidup seseorang. Fungsi tersebut antara lain:
1.      Akidah Dapat Menimbulkan Optimisme Dalam Kehidupan.
Sebab manusia yang di dalam dirinya tertanam akidah atau keyakinan yang kuat, akan selalu merasa optimis dan merasa akan berhasil dalam segala usahanya. Keyakinan ini didorong oleh keyakinan yang lain bahwa Allah sangat dekat padanya, bahkan selalu menyertainya dalam usaha dan aktivitas-aktivitasnya. Sementara bagi orang yang tidak memiliki akidah yang benar dan kuat tidak akan memilki keyakinan yang kuat, jiwanya akan menjadi gersang dan hampa, dan selalu diliputi keraguan dalam bertindak. Sehingga jika tertimpa sedikit cobaan dan rintangan, ia menjadi gelisah, keluh kesah, yang sering kali berakhir dengan putus asa, karena ia tidak memiliki pegangan batin yang kuat di luar kemampuanya.
2.      Akidah Dapat Menumbuhkan Kedisiplinan.
Disiplin dimaksud, seperti disebut oleh Yusuf al-Qardhawiy, adalah kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti semua ketentuan dan tata tertib yang berlaku, termasuk hukum alam (sunnatullah) dengan kesadaran dan tanggung jawab. Akidah yang mantap akan mampu menempatkan diri seseorang sebagai makhluk berdisiplin tinggi dalam kehidupannya. Disiplin adalah kata kunci untuk keberhasilan. Karena itu bila seseorang muslim ingin berhasil, ia harus berdisiplin. Tanpa disiplin, tidak mungkin seseorang dapat meraih kesuksesannya. Dalam konteks peningkatan kualitas hidup disiplin sangat dituntut terutama:
Pertama: Disiplin dalam waktu. Artinya, tertib dan teratur dalam memanfaatkannya dalam penanganan kerja maupun dalam melakukan ibadah mahdhah.
Kedua: Disiplin dalam bekerja. Artinya, seorang muslim yang berakidah menyadari bahwa ia harus bekerja, sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah. Dan agar kerjanya berhasil baik, diperlukan sikap disiplin. Sebab penangan kerja dengan kedisplinan akan menghasilkan sesuatu secara maksimal dan membahagiakan.
3.      Aqidah Berpengaruh Dalam Peningkatan Etos Kerja.
Sebab seseorang yang memilki keyakinan yang mantap akan selalu berupaya keras untuk keberhasilan kerjanya, sebagai bagian dari pemenuhan kataatanya pada Allah. Dengan demikian melalui aqidahnya akan tersembul etos kerja yang baik yang tercermin dari ciri-ciri berikut ini:
a.       Memiliki jiwa kepeloporan dalam menegakan kebenaran
Kepeloporan di sini dimaksudkan sebagai mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi, ia memilki kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiranya selalu dirasakan memberikan spirit bagi munculnya semangat peningkatan kualitas hidup setiap orang di sekitarnya.
b.      Memiliki perhitungan (kalkulatif)
Setiap langkah dalam hidupnya selalu diperhitungkan dari segala aspek, termasuk untung dan resikonya, dan tentu saja sebuah perhitungan yang rasional.
c.       Tidak merasa puas dalam berbuat kebajikan
Tipe muslim yang memilki aqidah yang kaut akan tampak dari semangatnya yang tak kenal lelah melakukan berbagai aktivitas untuk mencapai dan menegakkan kebaikan. Sekali dia berniat, ia akan menepati cita-citanya secara serius dan cermat, serta tidah mudah menyerah bila berhadapan dengan cobaan dan rintangan. Dengan semangat semacam ini seorang muslim selalu berusaha mengambil posisi dan memainkan peranan positif, dinamis, dan kreatif dalam penanganan kerjanya, dan memberi contoh kepada orang yang ada di sekitarnya.
Sedemikian pentingnya peran dan kontribusi aqidah bagi peningkatan kualitas hidup seorang muslim, hingga pemerhati masalah-masalah tauhid, Ismail Razi al-Faruqi menyebut aqidah (tauhid) sebagai prinsip ekonomi Islam dalam bentuk etika produksi, etika distribusi dan etika konsumsi.

F.     HAL-HAL YANG MERUSAK AQIDAH
1.      Kufur
a.      Pengertian
Dari segi bahasa kufur berasal dari kata Arab: kufr, yang berarti menutupi sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu kebaikan yang telah diterima, dan atau tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterima. Orangnya disebut kafir, bentuk jamaknya adalah kafirun atau kuffar. Dalam perkataan sehari-hari, kata kafir agaknya lebih lazim dipakai dari kata kufur, meskipun kata kafir sering disebut untuk menunjuk sesuatu yang bermakna kufur.
Sedangkan dari segi istilah kufur sering diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang menolak, menentang, mendustkan dan mengingkari kebenaran dari Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Dalam al-Qur’an kata kufur mengacu kepada perbuatan yang ada hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, sikap atau perbuatan yang termasuk dalam kategori kufur ini, antara lain dapat diidentifikasi seperti:
1)      Mengingkari nikmat dan beberapa karunia Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya. Ini ditemukan dalam QS an-Nahl: 55 dan QS ar-Rum: 34.
2)      Lari dari tanggung jawab atau berlepas diri dari suatu perbuatan. Ini ditemukan dalam QS Ibrahim:22.
3)      Pembangkangan atau penolakan terhadap hukum-hukum Tuhan. Ini ditemukan dalam QS al-Maidah:44.
4)      Meninggalkan amal salih yang diperintahkan Tuhan. Ini ditemukan dalam QS ar-Rum: 44.
Lebih jauh, dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang semakna dengan kata kufur, yaitu: Bagha yang berarti melampaui batas (QS al-Syura:27); Batira yang berarti bermewah-mewah/bersenang-senang (QS al-Qasas: 58); ‘Ata yang berarti melampaui batas (QS al-Furqan: 21, at-Thalaq: 8, dan Al-A’raf: 166); Tagha yang berarti kesesatan (QS al-Maidah: 64, 68, 69, dan 72, al-Kahfi: 80, al-Syams: 11-12, yunus: 7-8 dan 11, al-Nazi’at: 37-41 dan shad: 55-56), Istighna’ yang berarti merasa serba cukup (QS al-‘Alaq: 6-7, dan al-Lail: 8-11); dan jabbar yang berarti sewenang-wenang (QS al-Mu’min: 35, QS Maryam: 12-14 dan 31 – 32).
b.      Macam-macam Kufur atau kafir
Berdasarkan keragaman makna kafir atau kufur sebagaimana diuraikan di atas dan melihat secara tekstual dan kontekstual ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkapakan masalah kekafiran, maka kufur atau kafir dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
1)      Kafir harbi,
Yaitu kafir yang selalu memusuhi Islam. Apabila berada dalam negara Islam mereka senantiasa ingin memecah belah orang-orang mukmin. Sedangkan apabila berada di luar negara Islam mereka memusuhi orang-orang Islam dan bekerja sama dengan orang-orang yang telah memerangi Allah swt, dan Rasul-Nya sejak dulu, guna membuat kerusuhan di muka bumi. Ini dapat dilihat dalam QS at-Taubah: 107.
2)      Kafir ‘inad,
Yaitu kafir yang mengenal Tuhan dengan hati dan mengakui-Nya dengan lisan, tetapi tidak mau menjadikanya sebagai suatu keyakinan karena adanya rasa permusuhan, dengki dan semacamnya. Ini dapat dilihat dalam QS Hud: 59, dan Qaf: 24.
3)      Kafir Ingkar,
Yaitu kafir yang mengingkari adanya Tuhan secara lahir batin, mengingkari adanya rasul-rasul-Nya serta ajaran-ajaran yang dibawanya, mengingkari adanya hari kemudian. Jenis kafir ini dapat dikategorikan sebagai penganut ateisme (paham yang mengingkari keberadaan Tuhan). Mereka hanya percaya pada hal-hal yang bersifat materialisme semata. Ini dapat dilihat dalam QS al-Jasiyah: 24.
4)      Kafir Juhud,
Yaitu kafir yang membenarkan dengan hatinya adanya Tuhan dan rasul-rasulnya serta ajaran-ajaran yang dibawanya, tetapi tidak mau mengikrarkan kebenaran itu secara lahir. Ciri khas dari jenis kafir ini pada dasarnya sama dengan kafir ingkar, terkecuali pada kafir juhud, kesombongan, keangkuhan, dan rasa superioritas merupakan ciri khas yang sangat dominan. Ini dapat dilihat dalam QS al-Naml: 14.
5)      Kafir kitabi,
Yaitu kafir yang mengimani beberapa kepercayaan pokok yang dianut Islam, akan tetapi kepercayaan mereka tidak utuh, penuh cacat, dan parsial. Mereka membuat diskriminasi terhadap rasul-rasul Allah, kitab-kitab suci-nya, terutama terhadap nabi Muhammad dan al-Qur’an. Mereka dalam al-Qur’an sering disebut sebagai kelompok ahlul kitab (orang yang diberi kitab). Dan orang Yahudi dan Nasrani termasuk dalam kelompok tersebut.
6)      Kafir nifaq,
Yaitu kafir yang secara lahiriyah nampak beriman tetapi batinya mengingkari Tuhan. Mereka itulah yang disebut orang munafik, yaitu: orang kafir yang memakai baju mukmin. Watak dasar mereka adalah khianat, ingkar janji, dusta, egois, dan ria. Ini dapat dilihat dalam QS al-Maidah: 41.
7)      Kafir ni’mah,
Yaitu kafir yang perbuatannya cenderung menyalahgunakan nikmat-nikmat Tuhan, tidak mendayagunakan nikmat tuhan pada hal-hal yang diridhai-Nya, dan tidak berterima kasih atas nikmat yang diperoleh dalam hidup ini. Ini dapat dilihat dalam QS Ibrahim: 7.
8)      Kafir Syirk,
Yaitu jenis kafir yang menodai sifat yang paling esensial bagi Tuhan, yakni keesaan, yang berarti merusak kemahasempurnaan-Nya. Meskipun mereka tidak mengingkari eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam ini, tetapi mereka mempercayai keberadaan banyak tuhan sebagai tempat mengantungkan nasib mereka. Ini dapat dilihat dalam QS al-Nisa’: 48.
9)      Kafir riddah,
Yaitu kekafiran yang disebabkan seseorang keluar dari Islam. Seorang muslim dinyatakan murtad apabila ia memberi pengakuan secara sadar dan bebas (tanpa tekanan dan paksaan) bahwa ia keluar dari Islam atau meyakini suatu keyakinan (agama) yang bertentangan dengan ajaran dasar aqidah dan syariat Islam. Ini dapat dilihat dalam QS al-Baqarah: 217.
2.      Syirik
a.      Pengertian
Kata syirik berasal dari kata Arab syirk yang berarti sekutu atau persekutuan. Dalam istilah ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti mempersekutukan tuhan lain dengan Allah, baik persekutuan itu mengenai zat-Nya, sifat-Nya atau af’al-Nya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya ditujukan hanya kepada-Nya saja. Ini dapat dilihat dalam QS az-Zumar: 38, Al-Ankabut: 63, dan al-Zukhruf: 87.
Percaya kepada Allah tidaklah dengan sendirinya berarti iman atau tauhid. Sebab iman kepada Allah itu tidaklah cukup dalam arti hanya percaya kepada-Nya saja, melainkan mencakup pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia. Oleh karena itu orang-orang Arab sebelum Islam, kendati mereka sudah percaya kepada Allah, bahwa yang menciptakan alam raya, yang menurunkan hujan dan bahkan yang menciptakan manusia seluruh jagat tersebut adalah Allah swt, mereka tidak bisa disebut sebagai orang yang beriman, karena kepercayaan mereka kepada Allah masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain selain Allah dalam keilahian-Nya. Oleh sebab itulah mereka disebut sebagai kaum musyrik sebagai anti tesis dari kaum yang bertauhid.
b.      Bentuk-bentuk syirik
Dalam al-Quran, ada tiga puluh enam bentuk kata yang berasal dari akar kata syirik. Dari sejumlah itu, Maulana Muhammad Ali meyimpulkan paling tidak ada empat bentuk syirik, yaitu:
1)      Menyembah sesuatu selain Allah, misalnya batu, patung, pohon, bintang, kuburan, benda-benda langit, kekuatan-kekuatan alam, manusia yang dianggap setengah dewa atau penjelmaan Tuhan, anak laki-laki atau anak perempuan Tuhan. Ini dapat dilihat dalam QS az-Zumar: 3.
2)      Menyekutukan sesuatu dengan Allah, artinya menganggap barang-barang itu mempunyai sifat-sifat yang sama seperti Tuhan. Misalnya: kepercayaan ada tiga oknum ketuhanan, keyakinan bahwa sang putra dan sang roh kudus itu kekal, maha tahu, maha kuasa seperti Allah, dan lain sebagainya. Ini dapat dilihat dalam QS an-Nisa’: 171.
3)      Sebagain manusia mengambil sebagian yang lain sebagai Tuhan. Ini dapat dilihat dalam QS at-Taubah: 31.
4)      Orang mengikuti hawa nafsu secara membabi buta. Orang yang mengikuti hawa nafsunya secara berlebihan termasuk perbuatan syirik, karena ketaatannya kepada hawa nafsunya melebihi ketaatanya kepada Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-Furqon: 43.

3.      Riddah
a.      Pengertian
Kata riddah, makna asalnya kembali (ke tempat atau jalan semula). Sedangkan kata murtad adalah untuk menyebut pelakunya. Pengertian ini mencakup keluar dari iman dan kembali kepada kekafiran. Secara istilah murtad didefinisikan sebagai seseorang yang secara sadar (tanpa paksaan) keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkanya menjadi kafir, pindah kepada agama lain atau tidak beragama sama sekali.
Dalam hubungan ini, bila seseorang yang mulutnya menyatakan keluar dari agama Islam karena dipaksa oleh orang lain – seperti diancam hendak dibunuh – sementara hatinya tetap beriman, maka ia tidak termasuk golongan yang murtad. Ini dapat dilihat dalam QS an-Nahl: 106.
b.      Konsekuensi riddah
Dalam persepktif al-qur’an, Islam tidak memaksa seseorang untuk menjadi pemeluknya (QS al-Baqarah: 256), namun ketika seseorang menyatakan memeluk Islam, ia terikat dan tidak boleh keluar darinya. Oleh karena itu, manakala seseorang keluar dari Islam ada beberapa konsekuensi yang diterimanya, yaitu:
1)      Seluruh amal salih yang pernah dilakukakanya sebelum murtad terhapus, bahkan diancam oleh Allah SWT dengan siksa yang amat berat. Ini terdapat dalam QS al-Baqarah: 217.
2)      Perkawinanya yang dilakukan sebelum murtad menjadi fasakh (batal demi hukum) tanpa melalui proses perceraian atau thalaq.
3)      Tidak bisa mendapatkan hak waris dari kerabatnya yang muslim, meskipun menurut sebagain ulama, orang muslim masih boleh (berhak) menerima warisan dari kerabatnya yang murtad.

4.      Bid’ah
a.      Pengertian
Arti bid’ah menurut bahasa ialah segala macam apa saja yang baru, atau mengadakan sesuatu yang tidak berdasarkan contoh yang sudah ada. Sedangkan arti bid’ah secara istilah adalah mengada-adakan sesuatu dalam agama Islam yang tidak dijumpai keteranganya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
b.      Macam-macam bid’ah
Bila dilihat dari segi ushul fikih (kaidah-kaidah hukum Islam) bid’ah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1)      Bid’ah dalam ibadah saja, yaitu segala sesuatu yang diada-adakan dalam soal ibadah kepada Allah swt yang tidak ada contohnya sama sekali dari rasulullah baik dengan cara mengurangi atau menambah-nambah aturan yang sudah ada.
2)      Bid’ah meliputi segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah, aqidah maupun adat. Perbuatan yang diada-adakan itu seakan-akan urusan agama, yang dipandang menyamai syari’at Islam, sehingga mengerjakanya sama dengan mengerjakan agama itu sendiri.
Semua bentuk bid’ah di atas sangat tercela dan tidak boleh dilakukan. Aisyah ra menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah berabda: “Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama, maka ia ditolak, tidak diterima, dan bid’ah namanya” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan lain Rasulullah saw berkhutbah di atas mimbar dan bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya sebenar-benar keterangan ialah kitab allah dan sebaik-baik pedoman ialah pedoman Muhammad dan sejelek-jelek urusan adalah hal-hal yang baru, itulah yang disebut bid’ah dan segala bid’ah itu sesat’. Oleh Imam Nasa’i ditambah “dan segala yang sesat itu di neraka”. (HR Muslim riwayat dari jabir bin Abdullah).

5.      Khurafat
a.      Pengertian
Kata khurafat berasal dari bahasa arab: al-khurafat yang berarti dongeng, legenda, kisah, cerita bohong, asumsi, dugaan, kepercayaan dan keyakinan yang tidak masuk akal, atau akidah yang tidak benar. Mengingat dongeng, cerita, kisah dan hal-hal yang tidak masuk akal di atas umumnya menarik dan mempesona, maka khurafat juga disebut “al-hadis al-mustamlah min al-kidb”, cerita bohong yang menarik dan mempesona.
Sedangkan secara istilah, khurafat adalah suatu kepercayaan, keyakinan, pandangan dan ajaran yang sesungguhnya tidak memiliki dasar dari agama tetapi diyakini bahwa hal tersebut berasal dan memiliki dasar dari agama. Dengan demikian, bagi umat Islam, ajaran atau pandangan, kepercayaan dan keyakinan apa saja yang dipastikan ketidakbenaranya atau yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Hadis nabi, dimasukan dalam kategori khurafat.
b.      Asal usul
Menurut Ibn Kalabi, awal cerita khurafat ini berasal dari Bani ‘Udrah atau yang lebih popular dikenal dengna Bani Juhainah. Suatu ketika ada salah seorang dari Bani Juhainah ini pulang ke kampung halamannya. Kedatangannya mengundang banyak anggota bani Juhainah untuk datang sekedar melihatnya karena sudah lama tak pulang kampung. Ketika banyak orang berkerumun untuk mengunjunginya, ia banyak bercerita tentang banyak hal yang ada kaitanya dengan wilayah keagamaan, seperti yang pernah ia lihat dan ia rasakan selema kepergianya. Cerita-cerita yang dikemukakan, memang sulit diterima oleh akal, namun cerita yang disampaikan sungguh amat mempesona para hadirin yang mendengarnya.
Meskipun cerita itu tidak bisa diterima oleh akal, namun tidak sedikit di antara hadirin yang mendengarkan secara seksama, meskipun secara diam-diam mereka mencoba merenungkan kebenarannya. Setibanya di rumah masing-masing, mereka mendiskusikan cerita tersebut dengan sanak keluarga dan tetangga terdekat. Akhirnya cerita-ceruita itu berkembang dan tersebar di seluruh masyarakat bani Juhainah. Dalam perkembangannya kemudian, cerita-cerita yang tak masuk akal dan tidak didasarkan pada sumber al-Qur’an mapun Sunnah itu, oleh masyarakat dianggap sebagai sebuah cerita bernilai religius dan mempunyai dasar dari agama.
Khurafat ini berkembang dengan pesat seirama dengan pembudayaan apa yang disebut dengan taklidisme (ajaran yang bersikap ikut-ikutan). Dengan bersikap taklid, tanpa mengembangkan sikap kritis dalam menerima kebenaran cerita, pendapat, fatwa dan sejenisnya yang berkaitan dengan wilayah keagamaan, akan menimbulkan bentuk-bentuk perbuatan yang menyimpang dari ajaran Islam. sikap kritis yang dibutuhkan adalah melihat sejauhmana cerita, pendapat, fatwa, dan sejenisnya itu disimpulkan dari sumber Islam yang otentik. Jika sikap ini tidak dikembangkan, maka munculnya penyimpangan dari ajaran Islam tampaknya tidak terhindarkan lagi.
Khurafat, seperti disebutkan di atas, banyak ditemukan dalam masyarakat kita dalam semua bidang kehidupan manusia. Khurafat tidak hanya menyangkut sesuatu (benda) yang dianggap mempunyai legitimasi Islam, tetapi juga menyangkut diri manusia sendiri, yang kesemuanya diyakini mempunyai dan memiliki kekuatan magis padahal yang mempunyai kekuatan seperti itu hanya Allah semata. Contoh khurafat yang popular di Indonesia, misalnya tentang kewalian dan kekeramatan seseorang. Cerita yang dikategorikan khurafat yang samapi saat ini masih berkembang di masyarakat, misalnya tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani, adalah kepiawaiannya berduel dengan malaikat. Dalam duel itu, Abdul Qadir Jailani dikisahkan mampu memenangkan duel. Kisah duel antara Abdul Qadir jailan dan malaikat ini bermula dari pencabutan nyawa seseorang. Kematian ini memunculkan rasa iba dalam diri Abdul Qadur Jailani terhadap yang ditinggalkanya. Rasa iba ini menggerekan hatinya untuk mencoba berdialog dengan malaikat yang mencabut nyawa tadi, agar seorang yang dicabut nyawanya tersebut dapat dianulir mengingat keluarganya amat terpukul dengan kematianya. Upaya dialog Abdul Qadir Jailani sebagai jalan terakhir untuk mengembalikan orang yang mati tadi tidak membuahkan hasil. Akhirnya terjadilah duel, dan dalam duel tersebut dimenangkan oleh Abdul Qadir Jailani. Kekalahan malaikat ini mengharuskannya untuk mengembalikan nyawa kepada yang telah dicabut nyawanya tadi. Akhirnya hiduplah kembali orang tersebut, dan kembalinya orang ini sangat membahagiakan keluarganya.
c.       Bentuk-bentuk Khurafat
Djarnawi hadikusuma, dalam salah satu bukunya “Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Bid’ah dan Khurafat”, menjelaskan beberapa perilaku yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan khurafat, yaitu:
1)      Mempercayai bahwa berjabat tangan dengan orang yang pernah berjabat tangan dengan orang yang secara berantai sampai kepada orang yang pernah berjabat tangan dengan Rasulullah akan masuk surga.
2)      Mendapatkan barakah dengan mencucup tangan para ulama. Demikian itu dikerjakan dengan kepercayaan bahwa berkah Allah kepada ulama itu akan berlimpah kepadanya.
3)      Mempercayai beberapa ulama tertentu itu keramat serta menjadi kekasih Allah sehingga terjaga dari berbuat dosa. Andakata pun berbuat dosa, maka sekedar sengaja diperbuatnya untuk menyembunyikan kesucianya tidak dengan niat maksiat.
4)      Memakai ayat-ayat al-Qur’an untuk azimat menolak bala’, pengasihan dan sebagainya.
5)      Mengambil wasilah (perantara) orang yang telah mati untuk mendo’a kepada Allah. Mereka berziarah ke kuburan para wali dan ulama besar serta memohon kepada Allah agar do’a (permohonan) orang yang berziarah kuburnya itu dikabulkan. Ada yang memohon dapat jodoh, anak, rizki, pangkat, keselamatan dunia akhirat dan sebagainya. Mereka percaya dengan syafa’at (pertolongan) arwah para wali dan ulama itu, permohonan atau doa mesti dikabulkan Allah karena wali dan ulama itu kekasih-nya.

6.      Tahayul
Kata tahayul berasal dari bahasa Arab, al-tahayul yang bermakna reka-rekaan, persangkaan, dan khayalan. Sementara secara istilah, tahayul adalah kepercayaan terhadap perkara ghaib, yang kepercayaan itu hanya didasarkan pada kecerdikan akal, bukan didasarkan pada sumber Islam, baik al-Qur’an maupun al-hadis.
Bila ditengok ke masa lampau, di berbagai negara, khusus timur tengah, kepercayaan model tahayul ini pernah berkembang pesat. Pada zaman Persi misalnya, sudah ada agama zoroaster. Menurut agama ini, ada Tuhan baik dan Tuhan buruk (jahat). Api dilambangkan sebagai Tuhan yang baik. Sedang angin topan dilambangkan sebagai Tuhan yang jahat. Kepercayaan ini berkembang dengan keharusan untuk menghormatinya, yang kemudian diwujudkan dengan sajian atau dengan penyembahan melalui cara tertentu terhadap sesuatu yang menjadi pujaanya yang dirasa mempunyai kekuatan tertentu.
Di Indonesia, tahayul berkembang dan menyebar dengan mudah, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh agama dan kepercayaan lama. Adanya beberapa bencana alam menimbulkan korban menjadikan manusia berfikir untuk selalu baik dan menyantuni alam yang direalisasikan dalam suatu bentuk pemujaan dengan harapan bahwa sang alam tidak akan marah dan mengamuk lagi. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan suatu aliran kepercayaan yang ditimbulkan dari keadaan di atas, seperti kepercayaan pada pohon besar, atau keris yang dianggap mempunyai kekuatan tertentu atau benda-benda lainya. Kepercayaan kepercayaan itu terus berlanjut dan berkembang bersama perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu yang menggunakan mistik (kebatinan) sebagai salah satu aliranya.

7.      Nifaq
Nifaq secara bahasa berasal dari kata Arab na-fi-qa-u, yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu (hewan sejenis tikus) dari sarangnya. Nifaq juga dikatakan berasal dari kata na-fa-qa, yaitu lubang tempat bersembunyi. Sementara menurut syara’, nifaq berarti menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
Nifaq dibedakan dalam dua jenis yaitu nifaq i’tiqadiy dan nifaq ‘amaliy. Pertama: Nifaq I’tiqadiy (keyakinan) atau nifaq besar, di mana pelakunya menampakan keislaman, akan tetapi menyembunyikan kekufuran. Orang yang termasuk nifaq ini berarti ia keluar dari agama dan dia berada di dalam kerak neraka. Dalam al-Qur’an, Allah menyifati pelaku-pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok, dan mencaci agama beserta pemeluknya, serta kecenderungan kepada musuh-musuh agama untuk bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam. Pelaku nifaq (munafiq) jenis ini ada di sepanjang jaman. Mereka melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara sembunyi-sembunyi; mereka hidup di tengah umat muslim. Sebab itu, seorang munafiq menampakan keimanannya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari akhir, akan tetapi dalam batinya terlepas dari semua itu dan lebih dari itu mereka mendustakannya. Nifak jenis ini ada empat macam: 1) mendustakan Rasulullah atau mendustakan sebagaian dari apa yang beliau bawa, 2) membenci Rasulullah atau membenci sebagian dari apa yang beliau bawa, 3) merasa gembira dengan kemunduran agama Islam, dan 4) tidak senang dengan kemenangan Islam.
Kedua, Nifaq ‘Amaly (perbuatan), yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafik, akan tetapi masih ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak membawa pelakunya keluar dari agama, akan tetapi bisa menjadi wasilah (perantara) bagi pelakunya keluar dari agama jika dia melakukan perbuatan nifaq secara terus menerus.

G.    Tauhid
1.      Pengertian Tauhid
Istilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan kalau dilihat dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (af’al).
Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid i’tiqadi ‘ilmi (keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid i’tiqadi amali suluki (keyakinan yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis berupa ma’rifat (pengetahuan), i’tiqadi (keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), al-qashdu (tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan seseorang tidak dapat diterima di sisi Allah selama tidak mentauhidkan Allah secara teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan; 19).
Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan yang sempurna (tammah) kalau di dalamnya terdapat tiga unsur yang bulat dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya (iqrarrun bi al-lisani), serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani).

2.      Unsur Tauhid
Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma’ was-shifat).
a.      Tauhid Rububiyah
Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk. Menurut Abul A’la al-Maududi ia dapat berarti antara lain mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki, memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40). Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seluruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertian sebagaimana di bawah ini:
1)      Pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya.
2)      Pembimbing yang menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan.
3)      Pengasuh, penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan.
4)      Pemimpin yang dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubahnya sebagi pusat tempat mereka berhimpun di sekelilingnya.
5)      Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih dan menentukan kebijaksanaan.
6)      Raja yang dipertuan
Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya (rabbul ‘alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah satu-satunya Zat yang mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya semata-mata.

b.      Tauhid Mulkiyah
Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki, berakar dari akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini Allah swt adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya.
Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlah milik-Nya. Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satu-satunya raja yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan (hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).
1)      Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah)
Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja. Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja simbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (seremonial) belaka yang sangat tidak menentukan sistem kehidupan atau sistem pemerintahan. Seorang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau karena sudah tinggal di istana. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS al-Baqarah (2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59.
2)      Tidak ada Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah)
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainya.
Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-qur’an bahwa hak yang menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-An’am (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, dzalimun, dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-Maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut dzalim manakala merugikan orang lain.

3)      Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah)
Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-An’am (6): 162).

c.       Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-ma’luh yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih, Prinsip-prinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri mendefinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22).

d.      Tauhid Sifatiyah (al-Asma’ wa al-Sifat)
Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.
Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah, yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari):
1)      Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma’ was-sifat (nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya: Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain.
2)      Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt dan lain-lain.
Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah Rasulullah, para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).
Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih khusus, yaitu:
1)      Janganlah memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Lihat QS al-A’raf (7): 180.
2)      Janganlah menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifat-sifat dan af’al (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS as-Syura (42): 11, al-Ikhlash (112): 1-4.
3)      Mengimani al-Asma’ was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan “bagaimana”nya (kaifiyat).
4)      Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut.
5)      Di samping istilah al-Asma’ al-husna ada lagi istilah “ismullah al-a’zam” yaitu nama-nama Allah swt yang dirangkai dalam do’a. Rasulullah saw mengatakan bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-a’zam, do’anya akan dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibn majah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar