Hakikat
Definisi Iman secara Bahasa
Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran), sebagaimana
firman Allah ta’ala :
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya/membenarkan kepada kami” [QS.
Yuusuf : 17].
Dikarenakan ia merupakan lafadh syar’iy, maka tidak cukup hanya diartikan
dari segi bahasa saja, akan tetapi harus dikembalikan pada pengertian nash-nash
syar’iy. Maka, kita dapati Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menyebutkan beberapa penjelasan penting tentang perbedaan antara tashdiiq dan
iman. Beliau rahimahullah berkata :
أنه ليس مرادفاً للفظ التصديق في المعنى، فإن كل مخبر عن مشاهدة أو غيب يقال
له في اللغة: صدقت، كما يقال: كذبت. فمن قال: السماء فوقنا، قيل له:
صدق، كما يقال: كذب، وأما لفظ الإيمان فلا يستعمل إلا في الخبر عن غائب، لم يوجد
في الكلام أن من أخبر عن مشاهدة، كقوله: طلعت الشمس، وغربت، أنه يقال:
آمناه. كما يقال: صدقناه؛ ........... فإن الإيمان مشتق من الأمن. فإنما
يستعمل في خبر يؤتمن عليه المخبر؛ كالأمر الغائب الذي يؤتمن عليه المخبر؛ ولهذا لم
يوجد قط في القرآن وغيره لفظ [آمن له]، إلا في هذا النوع؛
“Bahwasannya iman itu tidak bersinonim dengan at-tashdiiq dalam
makna. Karena setiap orang menyampaikan khabar penglihatan langsung ataupun
tidak langsung (ghaib), dapat dikatakan kepadanya secara bahasa : ‘shadaqta’
(engkau benar), sebagaimana dapat juga dikatakan : ‘kadzabta (engkau
dusta). Barangsiapa yang mengatakan : ‘langit itu di atas kami’, maka dapat
dikatakan kepadanya : ‘shadaqa’ (ia benar), sebagaimana juga dapat
dikatakan : ‘kadzaba’ (ia dusta/tidak benar). Adapun lafadh iman
tidaklah digunakan kecuali dalam penerimaan khabar dari yang ghaib (tidak
terlihat secara tidak langsung). Tidak didapatkan dalam pembicaraan ada
orang yang menyampaikan khabar dengan penglihatannya langsung : ‘matahari
telah terbit dan tenggelam’; kemudian dikatakan : ‘aamannaahu’
sebagaimana dapat dikatakan : shadaqnaahu’….. Sesungguhnya kata iman berasal
dari kata al-amnu. Kata tersebut dipergunakan dalam khabar yang
dipercayai oleh orang yang meyampaikan khabar, seperti permasalahan ghaib. Oleh
karenanya, tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan yang lainnya lafadh aamana
lahu (aku mempercayainya), kecuali dalam pengertian ini” [Al-Iimaan
oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 276-277. Lihat juga Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/126
dan halaman selanjutnya].
Beliau rahimahullah juga berkata :
أن لفظ الإيمان في اللغة
لم يقابل بالتكذيب كلفظ التصديق، فإنه من المعلوم في اللغة أن كل مخبر يقال له:
صدقت أو كذبت، ويقال: صدقناه أو كذبناه، ولا يقال لكل مخبر: آمنا له أو
كذبناه، ولا يقال: أنت مؤمن له أو مكذب له، بل المعروف في مقابلة الإيمان لفظ الكفر.
يقال: هو مؤمن أو كافر.
“Bahwasannya lafadh al-iman secara bahasa tidaklah dipertentangkan
dengan lafadh at-takdziib, sebagaimana lafadh at-tashdiiq. Telah
diketahui dalam bahasa setiap orang menyampaikan khabar dapat dikatakan
kepadanya : shadaqta (engkau benar) ataupun kadzabta (engkau
dusta). Oleh karenannya, dapat pula dikatakan : shadaqnaahu (kami
mempercayainya) atau kadzabnaahu (kami mendustakannya). Namun tidak
dikatakan kepada setiap orang yang menyampaikan khabar : aamannaa lahu (kami
beriman kepadanya) atau kadzabnaahu (kami mendustakannya). Tidak pula
dikatakan : anta mu’minun lahu (engkau mengimaninya) atau anta
mukadzdzibun lahu (engkau mendustakannya). Namun yang diketahui sebagai
kebalikan al-imaan adalah lafadh al-kufr (kafir), sehingga (yang
seharusnya) dikatakan : huwa mu’minun au kufrun (ia orang yang beriman
atau kafir)” [idem].
Definisi Iman Secara Istilah Syar’iy
1. Al-Imaam Ismaa’iil bin Muhammad At-Taimiy rahimahullah
berkata :
الإيمان في الشرع عبارة
عن جميع الطاعات الباطنة والظاهرة
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu perkataan yang mencakup makna
semua ketaatan lahir dan batin” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah,
1/403].
An-Nawawiy menukil perkataannya :
الإيمان في لسان الشرع هو
التصديق بالقلب والعمل بالأركان
“Iman dalam istilah syar’iy adalah pembenaran dengan hati dan perbuatan
dengan anggota tubuh” [Syarh Shahih Muslim, 1/146].
2. Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أجمع أهل الفقه والحديث
على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية
“Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan
perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid,
9/238].
3. Al-Imaam
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
حقيقة الإيمان مركبة من
قول وعمل. والقول قسمان : قول القلب، وهو الاعتقاد، وقول اللسان، وهو التكلّم
بكلمة الإسلام. والعمل قسمان : عمل القلب، وهو نيته وإخلاصه، وعمل الجوارح. فإذا
زالت هذه الأربعة، زال الإيمان بكماله، وإذا زال تصديق القلب، لم تنفع بقية
الأجزاء
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua :
perkataan hati, yaitu i’tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan
tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat – Abul-Jauzaa’).
Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan
perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman
dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam
hati, tidak akan bermanfaat tiga hal yang lainnya” [Ash-Shalaah wa Hukmu
Taarikihaa, hal. 35].
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Yang
mereka maksudkan dengan perkataan adalah perkataan lisan dengan adanya
pengikraran, dan perkataan hati dengan i’tiqaad. Adapun yang mereka
maksudkan dengan perbuatan adalah perbuatan hati yaitu niat dan ikhlash, serta
perbuatan anggota tubuh dengan melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan
berbagai keharaman.
Jumhur Ahlus-Sunnah menyepakati hal ini dimana mereka mendasarinya dengan
banyak dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Imaam Abu ‘Ubaid
Al-Qaasim bin Sallaam dalam kitab Al-Iimaan berkata :
أن أهل العلم والعناية
بالدين افترقوا في هذا الأمر فرقتين: فقالت إحداهما: الإيمان بالإخلاص لله بالقلوب
وشهادة الألسنة وعمل الجوارح: وقالت الفرقة الأخرى بل الإيمان بالقلوب والألسنة،
فأما الأعمال فإنما هي تقوى وبر، وليس من الإيمان.
وإذا نظرنا في اختلاف
الطائفتين، فوجدنا الكتاب والسنة يصدقان الطائفة التي جعلت الإيمان بالنية والقول
والعمل جميعا وينفيان ما قالت الأخرى.
“Bahwasannya para ulama dan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap
agama dalam permasalahan ini terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok di
antara mereka berkata : Iman itu adalah ikhlash kepada Allah dengan hati,
syahadat yang diucapkan oleh lisan, dan perbuatan dengan anggota badan.
Kelompok kedua berkata : Iman itu adalah dengan hati dan lisan saja. Adapun
perbuatan hanyalah ketaqwaan dan kebaikan, bukan termasuk bagian dari iman.
Dan jika kita memperhatikan perbedaan antara dua kelompok tersebut, kita
akan mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah membenarkan kelompok (pertama) yang
menjadikan iman dengan adanya niat, perkataan, dan perbuatan; yang bersamaan
dengan itu menafikkan (kebenaran) apa yang dikatakan kelompok kedua” [Al-Iimaan,
hal. 53].
Di antara dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memasukkan perbuatan
dalam katagori iman adalah firman-Nya ta’ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ
آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka
bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” [QS. Al-Anfaal : 2-3].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” [QS.
Al-Hujuraat : 15].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ
جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada bersama-sama
Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak
meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya” [QS. An-Nuur : 62].
Allah ta’ala menjelaskan bahwa yang tertera dalam ayat-ayat di atas
termasuk hal-hal yang menjadikan seseorang disebut mukmin dan mukminah.
Demikianlah Allah ta’ala telah menjadikan perbuatan termasuk bagian dari iman.
Tentang firman Allah ta’ala :
وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” [QS. Al-Baqarah : 143].
maka Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata dalam Shahih-nya :
وإنما عنى به الصلاة التي
استقبلوا بها بيت المقدس
“Hanyalah yang dimaksud dengannya adalah shalat yang mereka lakukan
menghadap Baitul-Maqdis” [Shahih Al-Bukhaariy, Kitaabul-Iimaan, Baab
Ash-Shalaah minal-Iimaan, 1/95. Lihat pula Al-Iimaan oleh Ibnu
Mandah 2/327].
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan bahwa perbuatan termasuk bagian dari iaman, diantaranya sebagai
berikut :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الإيمان بضع وسبعون شعبة،
أفضلها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الذى عن الطريق، والحياء شعبة من
الإيمان
“Iman itu lebih dari tujuhpuluh cabang. Yang paling utama/tinggi adalah
perkataan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah),
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk
bagian dari iman” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Kitaabul-Iimaan, Baab
Umuuril-Iimaan, 1/51 no. 9; dan Muslim dalam Kitaabul-Iimaan, Baab ‘Adadi
Syu’abil-Iimaan, 1/63 no. 35].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda saat mengutus
‘Abdul-Qais :
....آمركم بأربع وأنهاكم عن أربع :
الإيمان - ثم فسّره لهم - شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وإقامة
الصلاة وإيتاء الزكاة، وأن تؤدوا خمس ما غنمتم....
“Aku memerintahkan kalian dengan empat hal dan melarang kalian dari empat
hal : iman itu – kemudian beliau menjelaskannya kepada mereka – syahadat
bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak di sembah melainkan Allah dan Muhammad
utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengeluarkan seperlima dan
harta ghanimah kalian…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam
Kitaabul-Maghaaziy, Baab Wafd ‘Abdil-Qais, 8/84 no. 4368; dan Muslim dalam
Kitaabul-Iimaan, Baab Al-Amri bil-Iimaan billaahi ta’ala, 1/48 no. 18].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
حسن العهد من الإيمان
“Baiknya perjanjian termasuk iman” [Al-Iimaan
oleh Abu ‘Ubaid, hal. 63; dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy].
Dan dalil-dalil yang lain menjadikan perbuatan termasuk bagian dari iman.
Oleh karena itu, iman menuntut adanya perkataan dan perbuatan. Iman tidak cukup
hanya dengan keberadaan satu di antara keduanya tanpa yang lain. Karena kata
iman hanyalah ada pada orang yang membenarkan seluruh syari’at yang Allah
turunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan niat, iqraar
(pengakuan), dan perbuatan. Orang yang membenarkan (dalam hati) namun tidak
mengikrarkan melalui lisannya dan tidak mengamalkan ketaatan melalui anggota
badannya yang ia diperintahkan dengannya, maka tidak berhak dinamakan beriman.
Begitu juga, barangsiapa yang mengikrarkan dengan lisannya dan mengerjakan
dengan anggota badannya, namun ia tidak membenarkan hal itu dalam hatinya; maka
tidak berhak pula dinamakan beriman. Al-Imaam Sahl bin ‘Abdillah At-Tustuuriy rahimahullah
ketika ditanya tentang iman, ia berkata :
قول وعمل ونية وسنة، لأن
الإيمان إذا كان قولا بلا عمل، فهو كفر. وإذا كان قولا وعملا بلا نية، فهو نفاق.
وإذا كان قولا وعملا ونية بلا سنة، فهو بدعة
“(Iman itu adalah) perkataan, perbuatan, niat, dan sunnah. Karena
seandainya iman hanyalah perkataan tanpa perbuatan, maka adalah kekufuran.
Seandainya ia hanyalah perkataan dan perbuatan namun tanpa niat, maka ia adalah
kemunafikan. Dan seandainya ia hanyalah perkataan, perbuatan, dan niat, namun
tanpa sunnah, maka ia adalah kebid’ahan” [majmuu’ Al-Fataawaa, 7/171]
عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : … قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ،
Dari Umar radhiallahuanhu
juga dia berkata: … Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan
aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia
berkata: “Anda benar“.
Tauhid
1.
Pengertian Tauhid
Istilah
tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti
bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan kalau dilihat
dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik
dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (af’al).
Pengertian
tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid i’tiqadi ‘ilmi
(keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid i’tiqadi amali suluki (keyakinan
yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang
bersifat teoritis berupa ma’rifat (pengetahuan), i’tiqadi
(keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud tauhid yang
bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), al-qashdu
(tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan seseorang
tidak dapat diterima di sisi Allah selama tidak mentauhidkan Allah secara
teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan;
19).
Meyakini
terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui terhadap
apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya
yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu kalau dalam
mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa
diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti
itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering
disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan
yang sempurna (tammah) kalau di dalamnya terdapat tiga unsur yang bulat
dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan
dengan ucapannya (iqrarrun bi al-lisani), serta diamalkan dengan
tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani).
2.
Unsur Tauhid
Para
ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan
proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur mutlak
adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah,
dan tauhid sifatiyah (al-asma’ was-shifat).
a. Tauhid
Rububiyah
Istilah rabb
dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk. Menurut Abul A’la
al-Maududi ia dapat berarti antara lain mendidik, membimbing, membesarkan,
mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki, memimpin, mengepalai dan
memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40). Sedangkan Qardhawy
mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah
adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seluruh
alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan bahwa
kata-kata rabb mencakup semua pengertian sebagaimana di bawah ini:
1)
Pencipta alam semesta beserta dengan
segala isinya.
2)
Pembimbing yang menjamin tersedianya
segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan.
3)
Pengasuh, penjaga, dan yang
bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan.
4)
Pemimpin yang dijadikan kepala, yang
bagi anak buahnya tak ubahnya sebagi pusat tempat mereka berhimpun di
sekelilingnya.
5)
Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik
kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya
diakui serta berwenang untuk memilih dan menentukan kebijaksanaan.
6)
Raja yang dipertuan
Dengan
mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang dimaksud
dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah
satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh
isinya (rabbul ‘alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta,
mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah
satu-satunya Zat yang mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia
ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS
Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio
ex nihilo) dengan kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya
semata-mata.
b. Tauhid
Mulkiyah
Kata
malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki, berakar dari
akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi
makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu
yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan
atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma
mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi
menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb
yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang
dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini Allah swt adalah malik
(raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita
banyak menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah swt adalah
pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah
(2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya.
Pada
hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid rububiyah.
Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan ciptaan
Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan
sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang
tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlah milik-Nya. Oleh
karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satu-satunya raja yang
menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus
mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan
(hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).
1)
Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin
kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah)
Ini
adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja. Bukanlah
raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang
menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka raja
yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja simbol atau raja boneka yang
hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (seremonial) belaka yang sangat tidak
menentukan sistem kehidupan atau sistem pemerintahan. Seorang raja baru akan
fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya,
bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau karena
sudah tinggal di istana. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila
berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya
didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi
perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa
Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS al-Baqarah
(2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59.
2)
Tidak ada Penguasa Yang Menentukan
(Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah)
Sebagaimana
yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional sebagai pemimpin
bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang berkuasa, yang
memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai wali
haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum dan segala
aturan lainya.
Allah swt
menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-qur’an bahwa hak yang menentukan
hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-An’am
(6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, dzalimun,
dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum
Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-Maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang
tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini
hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau
tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut
fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut dzalim
manakala merugikan orang lain.
3)
Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan
(Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah)
Bila
Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang menentukan), maka
kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja
yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang
menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-An’am
(6): 162).
c. Tauhid
Uluhiyah
Uluhiyah
berasal dari al-ilahu, artinya al-ma’luh yakni sesuatu yang
disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih,
Prinsip-prinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang
dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan
hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat
berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya,
dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya.
Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara
Yusuf Qardhawy sendiri mendefinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali,
yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara
mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22).
d. Tauhid
Sifatiyah (al-Asma’ wa al-Sifat)
Pengertian
tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas
nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam
al-Qur’an dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.
Menurut
Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah, yaitu metode itsbat
(menetapkan) dan nafyu (mengingkari):
1)
Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa
Allah swt memiliki al-asma’ was-sifat (nama-nama dan sifat-sifat) yang
menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya: Allah swt Maha Mendengar, Maha
Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain.
2)
Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak
segala al-asma was-shifat yang menunjukan ketidaksempurnaan-Nya,
misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah swt, atau
menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt dan lain-lain.
Para
ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah Rasulullah,
para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama dan sifat yang
ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah
bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan
dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif
(menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).
Sehubungan
dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
secara lebih khusus, yaitu:
1)
Janganlah memberi nama Allah swt dengan
nama-nama yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Lihat QS
al-A’raf (7): 180.
2)
Janganlah menyamakan (tamtsil),
atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifat-sifat dan af’al
(perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS as-Syura (42): 11, al-Ikhlash
(112): 1-4.
3)
Mengimani al-Asma’ was-shifat
bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan “bagaimana”nya
(kaifiyat).
4)
Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah
swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi
disebutkan ke-99 nama tersebut.
Di samping
istilah al-Asma’ al-husna ada lagi istilah “ismullah al-a’zam”
yaitu nama-nama Allah swt yang dirangkai dalam do’a. Rasulullah saw mengatakan
bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-a’zam, do’anya akan
dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan
Ibn majah).
Mental
Building
1. Iman kepada Allah (Star Principle)
Beriman kepada Allah artinya bertauhid, yaitu kepemilikan rasa aman
intrinsik, kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, kebijaksanaan,
dan motivasi tinggi. Semua itu dilandasi oleh iman dan dibangun dengan
berprinsip hanya kepada Allah, serta memuliakan dan menjaga sifat Allah pada
diri manusia. Laa ilaaha illallah.

2. Iman kepada Malaikat (Angel Principle)
Prinsip ini membawa manusia memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen
yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan member, suka menolong dan
memiliki sikap saling percaya.

3. Iman kepada Kitab (Learning Principle)
Memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan cermat.
Selalu berpikir kritis dan mendalam. Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali.
Bersikap terbuka untuk mengadakan kesempurnaan. Memiliki pedoman yang kuat
dalam belajar, yaitu berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah.

4. Iman kepada Rasul (Leadership principle)
Kepemimpinan sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memberi
perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang
kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari
pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting
adalah memimpin berlandaskan suara hati yang fitrah.

5. Iman kepada Hari Akhir (Vision Principle)
Ini mengajarkan agar hidup selalu berorientasi kepada tujuan akhir di
setiap langkah yang dilakukan. Mengoptimalkan setiap langkah dengan
sungguh-sungguh. Yakin akan adanya hari kemudian, sehingga memiliki kendali
diri dan social, memiliki kepastian akan masa depan, dan ketenangan batuniah
yang tinggi.

6. Iman kepada Taqdir (Well organized principle)
Memiliki ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengetahuan akan
kepastian hukum alam dan hokum social. Sangat memahami akan arti penting sebuah
proses yang harus dilalui. Selalu berorientasi pada pembentukan system
(sinergi) dan selalu berupaya menjaga system yang telah dibentuk

Tidak ada komentar:
Posting Komentar