Jumat, 15 Juni 2012

Hakikat Iman


Hakikat
Definisi Iman secara Bahasa
Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran), sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya/membenarkan kepada kami” [QS. Yuusuf : 17].
Dikarenakan ia merupakan lafadh syar’iy, maka tidak cukup hanya diartikan dari segi bahasa saja, akan tetapi harus dikembalikan pada pengertian nash-nash syar’iy. Maka, kita dapati Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa penjelasan penting tentang perbedaan antara tashdiiq dan iman. Beliau rahimahullah berkata :
أنه ليس مرادفاً للفظ التصديق في المعنى، فإن كل مخبر عن مشاهدة أو غيب يقال له في اللغة‏:‏ صدقت، كما يقال‏:‏ كذبت‏.‏ فمن قال‏:‏ السماء فوقنا، قيل له‏:‏ صدق، كما يقال‏:‏ كذب، وأما لفظ الإيمان فلا يستعمل إلا في الخبر عن غائب، لم يوجد في الكلام أن من أخبر عن مشاهدة، كقوله‏:‏ طلعت الشمس، وغربت، أنه يقال‏:‏ آمناه‏.‏ كما يقال‏:‏ صدقناه؛ ........... فإن الإيمان مشتق من الأمن‏.‏ فإنما يستعمل في خبر يؤتمن عليه المخبر؛ كالأمر الغائب الذي يؤتمن عليه المخبر؛ ولهذا لم يوجد قط في القرآن وغيره لفظ ‏[‏آمن له‏]‏، إلا في هذا النوع؛
“Bahwasannya iman itu tidak bersinonim dengan at-tashdiiq dalam makna. Karena setiap orang menyampaikan khabar penglihatan langsung ataupun tidak langsung (ghaib), dapat dikatakan kepadanya secara bahasa : ‘shadaqta’ (engkau benar), sebagaimana dapat juga dikatakan : ‘kadzabta (engkau dusta). Barangsiapa yang mengatakan : ‘langit itu di atas kami’, maka dapat dikatakan kepadanya : ‘shadaqa’ (ia benar), sebagaimana juga dapat dikatakan : ‘kadzaba’ (ia dusta/tidak benar). Adapun lafadh iman tidaklah digunakan kecuali dalam penerimaan khabar dari yang ghaib (tidak terlihat secara tidak langsung).  Tidak didapatkan dalam pembicaraan ada orang yang menyampaikan khabar dengan penglihatannya langsung : ‘matahari telah terbit dan tenggelam’; kemudian dikatakan : ‘aamannaahu’ sebagaimana dapat dikatakan : shadaqnaahu’….. Sesungguhnya kata iman berasal dari kata al-amnu. Kata tersebut dipergunakan dalam khabar yang dipercayai oleh orang yang meyampaikan khabar, seperti permasalahan ghaib. Oleh karenanya, tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan yang lainnya lafadh aamana lahu (aku mempercayainya), kecuali dalam pengertian ini” [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 276-277. Lihat juga Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/126 dan halaman selanjutnya].
Beliau rahimahullah juga berkata :
أن لفظ الإيمان في اللغة لم يقابل بالتكذيب كلفظ التصديق، فإنه من المعلوم في اللغة أن كل مخبر يقال له‏:‏ صدقت أو كذبت، ويقال‏:‏ صدقناه أو كذبناه، ولا يقال لكل مخبر‏:‏ آمنا له أو كذبناه، ولا يقال‏:‏ أنت مؤمن له أو مكذب له، بل المعروف في مقابلة الإيمان لفظ الكفر‏.‏ يقال‏:‏ هو مؤمن أو كافر.
“Bahwasannya lafadh al-iman secara bahasa tidaklah dipertentangkan dengan lafadh at-takdziib, sebagaimana lafadh at-tashdiiq. Telah diketahui dalam bahasa setiap orang menyampaikan khabar dapat dikatakan kepadanya : shadaqta (engkau benar) ataupun kadzabta (engkau dusta). Oleh karenannya, dapat pula dikatakan : shadaqnaahu (kami mempercayainya) atau kadzabnaahu (kami mendustakannya). Namun tidak dikatakan kepada setiap orang yang menyampaikan khabar : aamannaa lahu (kami beriman kepadanya) atau kadzabnaahu (kami mendustakannya). Tidak pula dikatakan : anta mu’minun lahu (engkau mengimaninya) atau anta mukadzdzibun lahu (engkau mendustakannya). Namun yang diketahui sebagai kebalikan al-imaan adalah lafadh al-kufr (kafir), sehingga (yang seharusnya) dikatakan : huwa mu’minun au kufrun (ia orang yang beriman atau kafir)” [idem].

Definisi Iman Secara Istilah Syar’iy
1.      Al-Imaam Ismaa’iil bin Muhammad At-Taimiy rahimahullah berkata :
الإيمان في الشرع عبارة عن جميع الطاعات الباطنة والظاهرة
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu perkataan yang mencakup makna semua ketaatan lahir dan batin” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/403].
An-Nawawiy menukil perkataannya :
الإيمان في لسان الشرع هو التصديق بالقلب والعمل بالأركان
“Iman dalam istilah syar’iy adalah pembenaran dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh” [Syarh Shahih Muslim, 1/146].
2.      Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية
“Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].
3.       Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
حقيقة الإيمان مركبة من قول وعمل. والقول قسمان : قول القلب، وهو الاعتقاد، وقول اللسان، وهو التكلّم بكلمة الإسلام. والعمل قسمان : عمل القلب، وهو نيته وإخلاصه، وعمل الجوارح. فإذا زالت هذه الأربعة، زال الإيمان بكماله، وإذا زال تصديق القلب، لم تنفع بقية الأجزاء
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu i’tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat – Abul-Jauzaa’). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak akan bermanfaat tiga hal yang lainnya” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 35].
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Yang mereka maksudkan dengan perkataan adalah perkataan lisan dengan adanya pengikraran, dan perkataan hati dengan i’tiqaad. Adapun yang mereka maksudkan dengan perbuatan adalah perbuatan hati yaitu niat dan ikhlash, serta perbuatan anggota tubuh dengan melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai keharaman.
Jumhur Ahlus-Sunnah menyepakati hal ini dimana mereka mendasarinya dengan banyak dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Imaam Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam dalam kitab Al-Iimaan berkata :
أن أهل العلم والعناية بالدين افترقوا في هذا الأمر فرقتين: فقالت إحداهما: الإيمان بالإخلاص لله بالقلوب وشهادة الألسنة وعمل الجوارح: وقالت الفرقة الأخرى بل الإيمان بالقلوب والألسنة، فأما الأعمال فإنما هي تقوى وبر، وليس من الإيمان.
 وإذا نظرنا في اختلاف الطائفتين، فوجدنا الكتاب والسنة يصدقان الطائفة التي جعلت الإيمان بالنية والقول والعمل جميعا وينفيان ما قالت الأخرى.
“Bahwasannya para ulama dan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap agama dalam permasalahan ini terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok di antara mereka berkata : Iman itu adalah ikhlash kepada Allah dengan hati, syahadat yang diucapkan oleh lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Kelompok kedua berkata : Iman itu adalah dengan hati dan lisan saja. Adapun perbuatan hanyalah ketaqwaan dan kebaikan, bukan termasuk bagian dari iman.
Dan jika kita memperhatikan perbedaan antara dua kelompok tersebut, kita akan mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah membenarkan kelompok (pertama) yang menjadikan iman dengan adanya niat, perkataan, dan perbuatan; yang bersamaan dengan itu menafikkan (kebenaran) apa yang dikatakan kelompok kedua” [Al-Iimaan, hal. 53].
Di antara dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memasukkan perbuatan dalam katagori iman adalah firman-Nya ta’ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” [QS. Al-Anfaal : 2-3].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” [QS. Al-Hujuraat : 15].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya” [QS. An-Nuur : 62].
Allah ta’ala menjelaskan bahwa yang tertera dalam ayat-ayat di atas termasuk hal-hal yang menjadikan seseorang disebut mukmin dan mukminah. Demikianlah Allah ta’ala telah menjadikan perbuatan termasuk bagian dari iman.
Tentang firman Allah ta’ala :
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” [QS. Al-Baqarah : 143].
maka Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata dalam Shahih-nya :
وإنما عنى به الصلاة التي استقبلوا بها بيت المقدس
“Hanyalah yang dimaksud dengannya adalah shalat yang mereka lakukan menghadap Baitul-Maqdis” [Shahih Al-Bukhaariy, Kitaabul-Iimaan, Baab Ash-Shalaah minal-Iimaan, 1/95. Lihat pula Al-Iimaan oleh Ibnu Mandah 2/327].
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa perbuatan termasuk bagian dari iaman, diantaranya sebagai berikut :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الإيمان بضع وسبعون شعبة، أفضلها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان
“Iman itu lebih dari tujuhpuluh cabang. Yang paling utama/tinggi adalah perkataan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk bagian dari iman” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Kitaabul-Iimaan, Baab Umuuril-Iimaan, 1/51 no. 9; dan Muslim dalam Kitaabul-Iimaan, Baab ‘Adadi Syu’abil-Iimaan, 1/63 no. 35].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda saat mengutus ‘Abdul-Qais :
....آمركم بأربع وأنهاكم عن أربع : الإيمان - ثم فسّره لهم - شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة، وأن تؤدوا خمس ما غنمتم....
“Aku memerintahkan kalian dengan empat hal dan melarang kalian dari empat hal : iman itu – kemudian beliau menjelaskannya kepada mereka – syahadat bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak di sembah melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengeluarkan seperlima dan harta ghanimah kalian…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Kitaabul-Maghaaziy, Baab Wafd ‘Abdil-Qais, 8/84 no. 4368; dan Muslim dalam Kitaabul-Iimaan, Baab Al-Amri bil-Iimaan billaahi ta’ala, 1/48 no. 18].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
حسن العهد من الإيمان
“Baiknya perjanjian termasuk iman” [Al-Iimaan oleh Abu ‘Ubaid, hal. 63; dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy].
Dan dalil-dalil yang lain menjadikan perbuatan termasuk bagian dari iman. Oleh karena itu, iman menuntut adanya perkataan dan perbuatan. Iman tidak cukup hanya dengan keberadaan satu di antara keduanya tanpa yang lain. Karena kata iman hanyalah ada pada orang yang membenarkan seluruh syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan niat, iqraar (pengakuan), dan perbuatan. Orang yang membenarkan (dalam hati) namun tidak mengikrarkan melalui lisannya dan tidak mengamalkan ketaatan melalui anggota badannya yang ia diperintahkan dengannya, maka tidak berhak dinamakan beriman. Begitu juga, barangsiapa yang mengikrarkan dengan lisannya dan mengerjakan dengan anggota badannya, namun ia tidak membenarkan hal itu dalam hatinya; maka tidak berhak pula dinamakan beriman. Al-Imaam Sahl bin ‘Abdillah At-Tustuuriy rahimahullah ketika ditanya tentang iman, ia berkata :
قول وعمل ونية وسنة، لأن الإيمان إذا كان قولا بلا عمل، فهو كفر. وإذا كان قولا وعملا بلا نية، فهو نفاق. وإذا كان قولا وعملا ونية بلا سنة، فهو بدعة
“(Iman itu adalah) perkataan, perbuatan, niat, dan sunnah. Karena seandainya iman hanyalah perkataan tanpa perbuatan, maka adalah kekufuran. Seandainya ia hanyalah perkataan dan perbuatan namun tanpa niat, maka ia adalah kemunafikan. Dan seandainya ia hanyalah perkataan, perbuatan, dan niat, namun tanpa sunnah, maka ia adalah kebid’ahan” [majmuu’ Al-Fataawaa, 7/171]

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ :   قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ،
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata: Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “Anda benar“.

Tauhid
1.      Pengertian Tauhid
Istilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan kalau dilihat dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (af’al).
Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid i’tiqadi ‘ilmi (keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid i’tiqadi amali suluki (keyakinan yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis berupa ma’rifat (pengetahuan), i’tiqadi (keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), al-qashdu (tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan seseorang tidak dapat diterima di sisi Allah selama tidak mentauhidkan Allah secara teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan; 19).
Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan yang sempurna (tammah) kalau di dalamnya terdapat tiga unsur yang bulat dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya (iqrarrun bi al-lisani), serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani).

2.      Unsur Tauhid
Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma’ was-shifat).
a.      Tauhid Rububiyah
Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk. Menurut Abul A’la al-Maududi ia dapat berarti antara lain mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki, memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40). Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seluruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertian sebagaimana di bawah ini:
1)      Pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya.
2)      Pembimbing yang menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan.
3)      Pengasuh, penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan.
4)      Pemimpin yang dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubahnya sebagi pusat tempat mereka berhimpun di sekelilingnya.
5)      Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih dan menentukan kebijaksanaan.
6)      Raja yang dipertuan
Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya (rabbul ‘alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah satu-satunya Zat yang mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya semata-mata.

b.      Tauhid Mulkiyah
Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki, berakar dari akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini Allah swt adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya.
Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlah milik-Nya. Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satu-satunya raja yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan (hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).
1)      Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah)
Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja. Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja simbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (seremonial) belaka yang sangat tidak menentukan sistem kehidupan atau sistem pemerintahan. Seorang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau karena sudah tinggal di istana. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS al-Baqarah (2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59.
2)      Tidak ada Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah)
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainya.
Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-qur’an bahwa hak yang menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-An’am (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, dzalimun, dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-Maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut dzalim manakala merugikan orang lain.

3)      Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah)
Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-An’am (6): 162).

c.       Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-ma’luh yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih, Prinsip-prinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri mendefinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22).

d.      Tauhid Sifatiyah (al-Asma’ wa al-Sifat)
Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.
Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah, yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari):
1)      Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma’ was-sifat (nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya: Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain.
2)      Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt dan lain-lain.
Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah Rasulullah, para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).
Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih khusus, yaitu:
1)      Janganlah memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Lihat QS al-A’raf (7): 180.
2)      Janganlah menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifat-sifat dan af’al (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS as-Syura (42): 11, al-Ikhlash (112): 1-4.
3)      Mengimani al-Asma’ was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan “bagaimana”nya (kaifiyat).
4)      Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut.
Di samping istilah al-Asma’ al-husna ada lagi istilah “ismullah al-a’zam” yaitu nama-nama Allah swt yang dirangkai dalam do’a. Rasulullah saw mengatakan bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-a’zam, do’anya akan dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibn majah).

Mental Building
1.      Iman kepada Allah (Star Principle)
Beriman kepada Allah artinya bertauhid, yaitu kepemilikan rasa aman intrinsik, kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, kebijaksanaan, dan motivasi tinggi. Semua itu dilandasi oleh iman dan dibangun dengan berprinsip hanya kepada Allah, serta memuliakan dan menjaga sifat Allah pada diri manusia. Laa ilaaha illallah.


2.      Iman kepada Malaikat (Angel Principle)
Prinsip ini membawa manusia memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan member, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya.

3.      Iman kepada Kitab (Learning Principle)
Memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan cermat. Selalu berpikir kritis dan mendalam. Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali. Bersikap terbuka untuk mengadakan kesempurnaan. Memiliki pedoman yang kuat dalam belajar, yaitu berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah.

4.      Iman kepada Rasul (Leadership principle)
Kepemimpinan sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan suara hati yang fitrah.

5.      Iman kepada Hari Akhir (Vision Principle)
Ini mengajarkan agar hidup selalu berorientasi kepada tujuan akhir di setiap langkah yang dilakukan. Mengoptimalkan setiap langkah dengan sungguh-sungguh. Yakin akan adanya hari kemudian, sehingga memiliki kendali diri dan social, memiliki kepastian akan masa depan, dan ketenangan batuniah yang tinggi.

6.      Iman kepada Taqdir (Well organized principle)
Memiliki ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengetahuan akan kepastian hukum alam dan hokum social. Sangat memahami akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui. Selalu berorientasi pada pembentukan system (sinergi) dan selalu berupaya menjaga system yang telah dibentuk
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar