Kamis, 21 Juni 2012

Sejarah Perwakafan Muhammadiyah


Sejarah Perwakafan Muhammadiyah 

Dalam hubungannya dengan pemikiran"mengkorporasikan" pengelolaan harta benda wakaf, maka Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang telah memperoleh status badan hukum (rechtpersoon) sejak masa pemerintahan kolonial Belanda (1914), telah menjalankan fungsinya sebagai nazhir. Status organisasi (keagamaan) sebagai nazhir telah diakui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu dengan memberikan kemungkinan suatu organisasi keagamaan bertindak sebagai nazhir harta benda wakaf.

Muhammadiyah sejak berdirinya tahun 1912 dikenal dengan semangat pembaharuan (tajdid) dengan slogan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah, dalam kegiatannya hampir tidak bisa terpisahkan dari unsur perwakafan tanah, karena untuk mengurus harta benda wakaf dibentuk suatu majelis yang khusus menangani hal tersebut, yakni Majelis Wakaf dan Kehartabendaan. Berdasarkan hasil Muktamar ke-45 di Malang pada tahun 2005, nomenklatur tersebut diubah menjadi Majelis Wakaf dan Zakat Infaq dan Shadaqah (ZIS), dan kemudian disaat Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta nomenklatur tersebut berubah kembali menjadi semula (Majelis Wakaf dan Kehartabendaan).

Majelis Wakaf dan Kehartabendaan yang dibentuk berdasarkan Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah : Organ Organisasi Pembantu Pimpinan, Majelis ini mempunyai tugas pokok untuk mengembangkan dan mengamankan harta wakaf dan harta kekayaan milik Persyarikatan serta membimbing masyarakat dalam melaksanakan wakaf, hibah, infaq dan shadaqah serta laiinya bersifat wakaf.

Selanjutnya pada jajaran organisasi tersebut, dibentuk pula Majelis Wakaf dan Kehartabendaan pada tiap-tiap Pimpinan Wilayah (Provinsi), Pimpinan Daerah (Kabupaten/Kota) dan Pimpinan Cabang (Kecamatan), yang masing-masing adalah Pembantu Pimpinan di Wilayah, daerah, dan Cabang, sekaligus kepanjangan tangan dari Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Persyarikatan Muhammadiyah dalam surat Keputusan Dalam Negeri No. SK. 14/DDA/1972 tentang Penunjukan Persyarikatan Muhammadiyah Sebagai Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Tanah Dengan Hak Milik.

Berdasarkan SK tersebut maka seluruh aset Persyarikatan Muhammadiyah diseluruh Indonesia baik wakaf atau pun non wakaf terdaftar harus atas nama Peryarikatan Muhammadiyah, walaupun yang menghimpun atau nazhir wakaf dapat dilakukan oleh Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Wilayah, Daerag ataupun cabang di wilayah kerjanya masing-masing.

Perwakafan di Muhammadiyah memiliki peranan penting terhadap perkembangan Persyarikatan Muhammadiyah umumnya bagi umat Islam Indonesian, Persyarikatan Muhammadiyah berusaha memanfaatkan tanah-tanah wakaf selain untuk sarana ibadah juga berusaha memanfaatkan tanah-tanah wakaf untuk sarana sosial

Muhammadiyah sebagai lembaga yang bergerak dibidang sosial keagamaan dikenal telah berhasil membantu program pemerintah khusunya dalam bidang pendidikan dan kesehatan serta ekonomi, Persyarikatan Muhammadiyah telah memiliki berbagai aset berupa sekolah, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi, serta Rumah Sakit yang tersebar diseluruh Indonesia. keberhasilan tersebut tidak luput dari perwakafan yang ada di Persyarikatan Muhammadiyah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar